RSS

AKU adalah DIRIKU

 

AKU adalah DIRIKU

            Mengawali untuk memulai hal yang sudah lama tidak dilakukan memang beraaat rasanya, tetapi entah kenapa setelah hampir 8 tahun akhirnya baru kali ini aku sadari ingin memulainya kembali. Rasa bingung dari mana juga akan aku mulai, tapi mengalir sajalah seperti air hahaa… “Aku adalah Diriku”, anonim kata yang bagi kebanyakan orang terdengar aneh dan tidak biasa di nikmati oleh telinga. Sebuah kalimat yang memang banyak menyimpan alibi ataupun narasi liar yang memiliki banyak tafsiran ataupun kesimpulan bagi banyak pemikiran orang, tetapi itulah yang aku rasakan “Aku adalah Diriku”…

            Bukan hal yang mengejutkan juga jika aku melontarkan kalimat yang kebanyakan orang sulit untuk memahami, karena mungkin pola fikirku yang sulit ditebak dan kadang terlalu tertutup (sulit percaya kepada orang). Dengan keanehan pola fikir yang aku miliki membuat lingkup pergaulan yang semakin menyempit dan selektif dalam memilih teman, ataukah karena faktor usia juga yang semakin beranjak dewasa? Entahlah… bingung juga memikirkannya.

            26 tahun berjalan 6 bulan, diusiaku yang sekarang, banyak hal yang sebelumnya tidak terbesit dalam fikiran tetapi perlahan menyelinap di sela-sela kesibukan. Dimulai dari hal memahami isi perasaan orang, tapi apa pentingnya? begitulah kesimpulanku di awal. Tetapi hal itu akhirnya menjadi penting seiring waktu berjalan, banyak yang bilang kalau aku orangnya terlalu blak-blakan saat berbicara dan tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Tetapi inilah apa adanya diriku karena “Aku adalah Diriku”...

            Setelahnya timbul lagi pemikiran yang baru pertama muncul di angan, kenapa orang yang terlalu jujur terhadap keadaan dan lingkungan malah dijauhi kebanyakan orang? Apakah kejujuran adalah sebuah ancaman? Ataukah kejujuran adalah hal yang menyakitkan untuk kebanyakan orang? Mungkin karena aku adalah anak desa yang berusaha mencari sesuap nasi di kota, masih bertahan terhadap ideologi yang aku bawa dari tempatku berasal. Ideologi yang mengajarkan bahwa “Jujurlah selalu menjadi manusia, meski kadang juga akan menyakitkan perasaan kebanyakan orang”. Tetapi itulah prinsip yang selalu aku pegang, sebagai anak kampung terapung dimana kultur keagamaan yang begitu kuat ditanamkan sejak usia belia, yaaa begitulah aku karena “Aku adalah Diriku”...

            Kampung terapung hahaha.. itulah sebutanku untuk tempat dimana aku dilahirkan, iyaa.. Malang, tepatnya di Kabupaten yang jauh dari kelayakan kehidupan kota. Disebuah kampung ditengah ladang perkebunan yang masih asri, sepi dari hiruk pikuk kesibukan perkantoran dan kendaraan bermotor yang lalu lalang berkeliaran. Kenapa juga aku juluki sebagai kampung terapung, karena di kampungku banyak dusun yang awalan namanya memakai kata “kali” dalam bahasa Jawa yang artinya sungai (Kalipare, kaliasem, kaliasri dst). Nama kampung yang sedikit terdengar lucu memang, tapi itulah realitas yang kebanyakan terjadi dikebanyakan daerah yang masih memegang erat tradisi Jawa.

16 Maret 1994, aku dilahirkan di salah satu kampung yang aku juluki  sendiri sebagai kampung terapung ini (Kalipare). Terlahir dari keluarga yang jauh dari kata berkecukupan, aku terlahir dengan tekad dan keuletan idealismenya. Sedikit bersosialisasi, jarang keluar rumah adalah kegiatan rutinku selama ada di tempat asalku sampai beranjak dewasa (lulus SMA), bahkan tetangga kanan kiri rumahku pun sering lupa wajah dan namanya, parah memang kedengarannya tapi itulah aku karena “Aku adalah Diriku”...

Terlalu asyik bernarasi jadi lupa untuk menyebutkan identitas diri wkwkwk. Muhamad Ansor To’ibi, itulah namaku yang diberikan oleh orang tua dan kakekku. Tiga  unsur nama yang terdengar memang lebih condong kepada kultur timur tengah meski sebenarnya aku dilahirkan perpaduan asli orang Jawa dan Ampyang Jawa ( blasteran Jawa dan Madura). Bapakku asli orang Rembang kota para penda’wah besar dan Ibuku adalah Ampyang Jawanya, Ibuku terlahir sama dengan tempatku dilahirkan di kampung sejuk dan sering dijuluki memiliki AC alami karena suhu udara bisa hanya belasan derajat di malam hari. Dari nama itulah aku mencari arti dan harapan keluarga yang terkandung di dalamnya. Memang kebanyakan orang menyebutkan bahwa apalah arti sebuah nama, tetapi buatku nama adalah pesan tersirat yang akan menentukan pola fikir dan alur kehidupan diriku untuk kedepannya akan menjadi orang yang seperti apa. Dari arti namaku juga aku sadari bahwa hidup bukan hanya tentang kebahagiaan pribadi tetapi lebih peduli dan berempati untuk kebahagiaan orang lain. Sering pula karena kadar empati yang terlalu tinggi, aku lebih memprioritaskan kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaanku sendiri, yaaa.. itulah aku, karena “Aku adalah Diriku”...

Nomaden adalah istilah yang tak asing lagi keluargaku lakukan, sejak usiaku masih balita bapak dan ibuku sering berpindah-pindah tempat tinggal. Meski hanya di beberapa kota tetapi entah kenapa kota pahlawan dan kota udang adalah kota yang paling berkesan selama aku dan keluargaku berpindah tempat. Di kota pahlawan aku melewati masa balitaku hingga memasuki usia kanak-kanak, di sanalah masa kecilku lalui dengan penuh kesederhanaan. Tapi memang sejak kecil aku sadari jika sebenarnya sifat dasarku adalah pemalu. Jika tidak di satroni oleh teman mainku ke rumah akupun malu untuk keluar rumah sendirian, terdengar aneh untuk anak seusiaku yang sebenarnya sedang memasuki fase bermain. Hal itu juga yang terbawa sampai usia remaja, menunggu di jemput teman kerumah baru aku mau untuk  keluar rumah. Sementara saat berpindah di kota udang aku melewati fase usia sekolah dasar dimana karakterku sudah mulai dibentuk oleh Bapakku. Sejak sekolah dasar sudah diwajibkan untuk memiliki tanggung jawab setiap apa yang dilakukan, dalam bermain, belajar bahkan beribadah. Tidak ada kata bercanda jika sedang belajar atupun beribadah, jika tidak hukuman pasti diberikan, semisal tidak diizinkan bermain ataupun tidak diberikan uang jajan. Karena hal itu juga prestasi akademisku sejak sekolah dasar sampai menengah atas selalu masuk peringkat tiga besar dan di keorganisasian akademik juga bisa dibilang memuaskan karena entah dari mana alurnya bisa terpilih menjadi orang utama di badan eksekutif kemahasiswaan di perguruan tinggi, begitu juga dengan pemahamanku mengenai ilmu keagamaan bisa dibilang lumayanlah meski juga masih setiap waktu harus tetap belajar. Begitulan Bapakku, tegas dan disiplin dalam segala hal, tetapi aku bersyukur karena hal itu karakterku terbentuk sampai usiaku sekarang.

Kota pahlawan, Surabaya. Kota dimana aku singgah, bekerja dan meneruskan study perguruan tinggi yang tertunda enam tahun lamanya semenjak selesai menempuh Pendidikan di bangku sekolah menengah. Tertunda bukan karena tanpa alasan karena sebenarnya aku lulus dengan predikat memuaskan dan mendapatkan beasiswa masuk ke perguruan tinggi manapun yang aku inginkan dengan gratis dan biaya hidup ditanggung oleh negara. Tapi inilah kehidupan yang harus dilalui dengan penuh kebijaksanaan, dengan memilih bekerja untuk membantu ibu dan adik yang masih bersekolah aku putuskan untuk bekerja daripada mengambil beasiswa yang ada di depan mata. Ibuku sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak aku masih kelas lima sekolah dasar dan adikku masih berusia empat tahun, Bapak pergi meninggalkan kami selamanya saat keadaan keluarga masih dalam fase kurang berada. Hal itulah yang menuntutku juga sebagai anak pertama untuk menjadi lebih bijaksana dan memprioritaskan Ibu dan Adik untuk kelangsungan kehidupannya, aku putuskan untuk menanggalkan beasiswa dan akhirnya bekerja. Tapi syukurlah sekarang aku bisa bekerja dan melanjutkan study yang tertunda meski lumayan melelahkan juga sebenarnya, tetapi aku harus percaya dan meyakini bahwa perjuangan dan rasa lelah akan indah pada akhir ceritanya karena “Aku adalah Diriku”...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS