RSS

 

TERISAK di PUNDAK

Sebagai anak desa yang tinggal sejak kecil di pesisir gunung, mungkin terdengar aneh jika mempunyai kegemaran sebagai seorang pendaki. Kegemaran yang sebenarnya lebih cocok dilakukan oleh anak kota yang jarang sekali berwisata di alam terbuka untuk melepaskan kepenatan setelah bekerja. Sejak usia remaja, tak jarang juga sebenarnya aku bersepeda ataupun berpetualanglah istilahnya dengan teman”ku. Saat hari minggu menyusuri anak gunung yang tak jauh dari tempat tinggalku. Berangkat setelah sholat shubuh bersama-sama agar saat sampai di puncaknya masih bisa melihat mentari perlahan terbangun dari tidur lelapnya. Masa remajaku dulu masih belum ada smartphone untuk mengabadikan moment seperti itu, moment yang hanya bisa diabadikan di dalam memori fikiran tanpa ada bukti secara visual. Sejak dari sekolah dasar, aku juga gemar sekali yang namanya berkemah. Membangun tempat berteduh sendiri, memasak sendiri dan mencuci baju sendiri, hitung-hitung belajar mandiri juga. Hampir sebulan sekali pasti ada saja acara berkemahnya, sampai” orang di rumah bingung sendiri kok bisa lebih nyaman di luar rumah yang lebih susah daripada dirumah sendiri yang apa-apanya sudah tersedia. Maklumlah aku juga mempunyai bekal sebagai anak pramuka yang memiliki jiwa petualang. Di pramuka inilah aku diajari bagaimana cara hidup di alam bebas yang jauh dari rumah dengan membawa perbekalan dan peralatan seadanya.

Saat memasuki usia menjelang dewasa, kebiasaanaku untuk berpetualang malah lebih condong ke daerah pesisir pantai. Karena di pantai lebih mudah dijangkau dan lebih banyak tersedia juga kebutuhan logistic apabila dibutuhkan. Seperti jika butuh makan banyak yang berjualan, jika butuh mandi tinggal ke kamar mandi umum. Berbeda dengan di gunung yang harus memasak sendiri segala sesuatunya jika lapar dan malah sampai tidak mandi berhari-hari lamanya. Namun entah kenapa saat ikut organisasi di kampus, acara pelantikan anggota baru agendanya adalah diklat menyusuri alam yang mewajibkan untuk berkemah dan mendaki gunung. Saat moment itulah kegemaranku mendaki mulai muncul kembali meski sempat terpinggirkan cukup lama juga waktunya. Karena sudah lama tidak berkegiatan berat untuk pendakian, mau tidak mau setiap pagi sebelum berangkat bekerja aku sempatkan untuk jogging santai hampir tiga puluh menit tanpa henti selama sebulan lamanya. Capek memang, tetapi jaga-jaga juga untuk kesiapan fisik saat melakukan pendakian. Tak lupa juga nutrisi harus tercukupi agar kondisi tubuh tetap prima saat melakukan aktifitas olahraga dan siap saat mendaki nantinya.

Awal November 2019, seminggu sebelum peserta melakukan prosesi diklat anggota baru, panitia membentuk team survey untuk memastikan tempat berkemah dan jalur pendakian bisa dilalui saat pelaksanaan diklat nantinya. Aku dan lima orang temanku ditunjuk sebagai team survey yang mengharuskan kami berkemah dan mendaki sebelum panitia lain dan para peserta melakukannya. Kami berenam berangkat dari Surabaya menuju ke kota Mojokerto mengendarai motor pada siang hari dan sampai disana saat sore harinya. Perjalalanan memakan waktu sekitar dua jam lamanya dengan kecepatan sedang, maklum dikarenakan dua anggota team survey kami adalah perempuan jadi tidak bisa memacu kendaraan dengan amat kencang. Hujanpun datang ditengah perjalanan kami saat menuju ke tempat pertama yang kami survey, yaitu di bumi perkemahan. Kami sampai di bumi perkemahan sekitar pukul lima sore, dikarenakan jadwal keberangkatan kami yang awalnya dari Surabaya pukul satu siang molor menjadi pukul tiga sore. Di bumi perkemahan ini kami memastikan luas kapasitas tempat yang dibutuhkan untuk prosesi diklat nantinya, sambil memberikan uang muka untuk menyewa selama beberapa hari kedepannya. Kami putuskan untuk singgah sejenak di bumi perkemahan sampai nanti setelah sholat isya’ untuk menuju tempat survey kedua.  Semua keadaan masih berjalan dengan normal di tempat survey pertama, hanya dinginnya udara disertai air hujan yang menemani kami di sore itu.

Setelah melaksanakan sholat isya’, kamipun berkemas untuk bersiap menuju ke lokasi survey kedua yaitu jalur pendakian di Gunung Pundak. iyaa gunung pundak, kesanalah awal aku mulai mendaki lagi meski bukan karena kemauan pribadi tetapi hanya tuntutan untuk proses pelantikan organisasi. Tetapi jangan salah, disinilah awal naluri mendakiku mulai bergejolak lagi sampai sekarang ini. Sesampainya di loket pendaftaran, kami mengisi biodata secara lengkap sesuai kartu tanda penduduk untuk memenuhi syarat formal pendakian di sertai lamanya waktu kami akan bermalam disana. Katanya untuk jaga-jaga juga apabila andaikan ada yang tersesat bisa di ketahui biodatanya secara cepat. Setelah pengecheckan logistic dan kondisi tubuh masing-masing team selesai, kami memulai pendakian. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul delapan malam. Secara perlahan kamipun melangkah dengan ditemani lampu senter yang masing-masing kami pegang menyusuri gelapnya jalur pendakian meskipun sebenarnya banyak pendaki lain juga yang lalu lalang.

Kami berjalan berbaris berenam dengan dua anggota perempuan yang berada di urutan ke empat dan kelima. Aku berada di urutan paling depan berjarak sekitar sepuluh meter dari rombongan untuk memastikan jalan yang kami lalui aman dan tidak ada hambatan apapun. Sembari mengobrol santai, kami sesekali bertegur sapa dan berpapasan dengan pendaki lainnya yang sedang turun ataupun yang baru mulai mendaki seperti kami. Tak terasa sudah tiga puluh menit berjalan, obrolan kami terhenti karena dua perempuan dari team kami sudah merasakan kelelahan. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertama buat mereka jadi kami putuskan untuk beristirahat. Setelah sepuluh menit kami berhenti, kami lanjutkan lagi pendakian dengan barisan yang masih sama urutannya. Tetapi belum beberapa lama kami mulai berjalan lagi, tiba-tiba salah satu perempuan di team kami terjatuh dan mulai mengigau sambil terisak tangis. Sontak aku berjalan menghampirinya disertai dengan temanku yang lain untuk memastikan keadaan. Menurut cerita teman perempuanku yang dibelakangnya, dia mengeluh sudah merasakan berat di bagian belakang lehernya sejak di awal pos pendaftaran tadi. Sampai akhirnya dia tetap memaksakan untuk melakukan pendakian dan akhirnya terjatuh.  

Malam semakin larut, aku lihat jam tangan dan sudah menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam. Dua jam yang kami lalui dan belum sampai di pos pertama yang di prediksi bisa ditempuh dalam waktu satu jam saja. Karena ternyata teman perempuanku yang terjatuh tadi mengalami halusinasi atau biasa disebut kesurupan. Dia mulai meronta-ronta sembari ditemani isak tangis dan mengigau di tengah jalur pendakian. Banyak pendaki lain yang menghampiri dan berusaha menolong team kami agar dibawa ke pos satu agar bisa lebih leluasa lagi untuk melakukan pertolongan. Sesampainya di pos pertama, bukannya malah sembuh tetapi malah menjadi-jadi. Semakin mencekam malam di hari itu dibuatnya, teriakan-teriakan keras yang dilakukannya membuat hening malampun pecah. Hampir satu jam lebih akhirnya kami bisa menenangkan dirinya sambil dibawa masuk ke sebuah tenda milik pendaki lainnya yang bermalam di pos satu. Aku dan temanku lainnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian ini dan mendirikan tenda untuk bermalam. Tetapi sialnya, kerangka tenda yang kami bawa dari bumi perkemahan ternyata salah dan mengharuskan untuk turun mengambilnya lagi. Karena terpaksa juga agar tenda kami dapat berdiri, akhirnya aku dan salah seorang temanku turun dari pos satu menuju bumi perkemahan. Lelah rasanya karena setelah turun dari gunung menuju ke bumi perkemahan, kamipun harus naik lagi ke pos satu untuk mendirikan tenda. Entah apa yang sebelumnya kami lakukan, tetapi hari itu memang keberuntungan jauh dari team survey kami.

Sesampainya di pos satu lagi dan tenda sudah kami dirikan sekitar pukul dua belas malam. Teman perempuan yang kerasukan masih belum bisa diajak berbicara dan masih mengigau sendiri sambil menunjuk-nunjuk ke sebuah sudut yang tidak ada apapun sebenarnya. Kami berlima yang masih memiliki kesadaran penuh juga paranoid dibuatnya. Tak lama ada pendaki yang menghampiri kami dan menanyakan mengenai teman perempuan yang kerasukan itu. Ternyata dia adalah salah satu juru kunci dari gunung yang sedang kami daki ini, dia menghampiri teman perempuan yang kerasukan sambil dibacakan do’a yang dilantunkan sambil meminumkan segelas air kepadanya. Perlahan keadaan mulai kondusif dan tenang, teman perempuan yang kerasukan kami gotong untuk dibawa masuk ke tenda yang kami dirikan sendiri ditemani teman perempuan yang berada di team survey kami. Di luar tenda, kami berbincang sejenak dengan orang yang membacakan do’a tadi, ternyata jika saat melakukan pendakian tidak diperbolehkan membawa benda yang biasa disebut “jimat” karena di gunung memiliki siklus dan adatnya tersendiri. Itulah yang menyebabkan temanku kerasukan karena dia dibekali suatu hal oleh orang tuanya dari rumah sebelum melakukan pendakian.

Sesudah lewat tengah malam, keadaan sudah semakin tenang dan kami para lelaki membuat jadwal bergantian untuk berjaga saat yang lainnya sedang tidur terlelap. Dua jam sekali kami bergantian untuk tidur agar barang dan tenda kami tidak diserang oleh binatang buas yang berkeliaran di tengah malam. Saat waktu berjaga inilah aku sedikit bernostalgia dengan alam, ditemani api unggun kecil sebagai penghangat dan secangkir susu yang membuat keheningan malam semakin nikmat. Moment inilah yang tidak dapat dinikmati saat berada di rumah, kesejukan udara malam lepas sembari ditemani secerca embun yang sebentar lagi lapuk menjadi tetesan air saat mentari mulai menampakkan dirinya. Terbesit dibenakku, andaikan ini bisa terjadi di puncak gunung nanti pasti lebih nikmat lagi rasanya. Saat pelaksanaan diklat nanti, bagaimanapun caranya harus bisa sampai ke atas agar bisa tahu bagaimana rupa sebenarnya dari puncak si Pundak. Semoga saja….

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

 

LITERASI ARTI

Setiap manusia dilahirkan memiliki tugas dan tujuan hidup masing-masing untuk menorehkan tinta pada setiap kisah kehidupannya. Sebuah tugas yang disematkan secara tersirat sebelum raga diisi oleh sukma dan sebuah tujuan yang harus dituntaskan sebelum sukma beranjak pergi tanpa permisi. Tak jarang pula manusia lalai dan lupa akan apa yang harus dilakukan maupun diwujudkan di dalam sebuah kehidupan, entah itu karena lupa atau karena hanya berfokus pada apa yang fana. Tetapi berikanlah sebuah arti pada setiap langkah yang terus berjalan tanpa henti, hingga sebuah seruan menjumpaimu dan berkata “Sudah saatnya kamu untuk kembali”.

Sebagai manusia pada umumnya, aku juga pernah mengalami masa dimana kehidupan selalu menyisahkan guratan pada setiap kisahnya. Mendalam ataupun hanya dangkal, tetapi guratan selalu menyisahkan sebuah kenangan yang tak akan bisa di samarkan. Tak jarang pula aku hanya bisa tertunduk lesu dalam bisu, hingga hanya bisa memandang ke arah langit dan berbisik lirih di dalam hati atas apa yang telah aku lalui. Semakin beranjak fase kehidupan dari usia belia menuju dewasa, problematika kehidupan lambat laun akan bertambah dan mulai menampakkan rupa. Rupa nyata problematika yang bisa diakhiri dengan senyuman atau malah dengan sebuah penyesalan penuh pelajaran yang berujung hikmah maupun ratapan.

Bagaikan burung yang terbang beriringan di langit dengan lebar sayapnya, seakan lega memandang andaikan bisa aku mengikuti jejak setiap kepakan. Terbang jauh kemana mata bisa memandang tanpa ada batasan maupun halauan, diiringi dengan banyak teman yang bisa terbang dalam satu lintasan. Berpindah dan singgah pada setiap pergantian musim, tanpa muram maupun kusam yang terlihat pada setiap kepakan. Ikhlas dan pasrah akan semua yang telah ditakdirkan, seperti mata angin yang selalu mengikuti kemana arah membawa dirinya untuk dihembuskan.

Perjumpaan dengan setiap individu lain mengajarkan diriku untuk selalu mengambil kesimpulan di akhir perkenalan, bukan pada awal yang banyak memunculkan kepalsuan. Terlihat baik dan manis bersikap di awal, tetapi menyembunyikan sebuah kebohongan yang terus dikembangkan. Kebaikan dari perjumpaan seakan bisa menjadi kisah kelam pada setiap perpisahan, menyisahkan dendam bahkan kebencian yang sulit dihilangkan. Arti sebuah perjumpaan sebenarnya untuk memperbanyak interaksi dan relasi, tetapi malah menjauhkan yang dekat hingga tak berbekas untuk diiingat.

Yang bisa terbayang dalam relung fikiran hanya agar bisa menjadi diri sendiri tanpa harus bersandiwara untuk sebuah kesemuan belaka. Memang tidak selalu akan menemukan oasis yang menyegarkan, tetapi setidaknya tak akan menciptakan fatamorgana sebuah kebahagiaan. Banyak yang menjalankan peran seakan ingin mendapat pujian, tetapi tak pernah menyadari akan kemampuan diri pribadi. Memaksakan sebuah kenistaan, agar bisa dianggap sebuah keberhasilan. Mungkin terdengar wajar sebagai manusia yang diciptakan oleh dua unsur kebaikan dan keburukan, tetapi sadarilah bahwa apa yang kamu tanam dihari ini akan kamu tuai juga untuk kedepannya nanti.

Semoga banyak kepalsuan yang bisa lagi aku sadari, karena hidup ini ada untuk mencari jati diri bukan untuk membuat keberhasilan yang bahkan tak pernah dihargai. Temukanlah masing – masing suratan yang ditakdirkan secara tersirat, agar kehidupanmu tidak serasa berat dan terjerat. Hargailah apa yang datang dengan senyuman meski menyisahkan kegetiran, agar hidupmu selalu mendapatkan kemuliayaan di sertai dengan sebuah keikhlasan. Inilah literasi arti, yang tak pernah pergi tetapi selalu akan datang silih berganti untuk menemani.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

 

KARIKATUR SENJA

Tok.. tok .. tok.. “Assalammualaikum”, ucapku pelan dengan nafas yang masih terengah-engah sembari perlahan mengusap keringat di wajah.

“Wa’alaikumsalam”, terdengar bunyi sahutan dari dalam ruangan secara samar.

                Pintupun aku buka secara perlahan, agar tidak mengganggu aktifitas yang sedang berjalan  di dalam ruangan. Ku langkahkan kaki dengan kecepatan sedang menuju bangku yang berada di sudut kanan depan.

“Dari mana saja kamu? Dosen sudah memulai mata kuliahnya sejak tiga puluh menit yang lalu” ucap Ayu seorang teman yang duduk disebelah kanan bangku tempat dudukku.

“Maaf aku sedikit terlambat, karena masih macet tadi dijalan” sahutku sambil sedikit berbisik kepadanya agar dosen tidak menyadari percakapan yang aku lakukan.

Masih teringat dengan jelas dalam benakku, bahwa hari itu adalah tahun ke dua diriku menginjak semester awal sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di kota. Seperti kebanyakan mahasiswa yang pagi sampai sore harinya dihabiskan untuk bekerja, aku cukup sering terlambat saat mengikuti mata perkuliahan di malam harinya. Selain karena banyaknya persoalan yang harus diselesaikan di tempat kerja, kepadatan kendaraan yang lalu lalang saat perjalanan menuju kampus adalah faktor pendukung bagi keterlambatanku. Padahal sudah hampir 5 tahun aku berada di kota ini sebagai pekerja, tetapi tetap saja kemacetan adalah masalah utamanya.

Setelah hari itu dosen mengakhiri mata kuliah yang diajarkan, kebiasaaanku dengan teman” satu tongkrongan adalah bercerita tentang hal yang terjadi selama seharian di tempat kerja. Teman satu tongkronganku dalam satu program studi berjumlah 9 orang dan hanya akulah cowok satu-satunya dalam pertemanan ini. Jadi wajarlah kalau aku adalah orang yang paling tampan, meskipun kenyataannya rupaku juga terhitung pas-pasan hahaha…

Dalam sebuah pertemanan pasti ada pasang dan surutnya juga, apalagi pertemanan dengan para perempuan. Sedikit tidak dihiraukan dalam percakapan sudah bisa merajuk dan menjauh dari pergaulan, memang itu sebuah hal yang wajar juga menurutku karena sifat dasar perempuan adalah ingin selalu diperhatikan. Tak jarang pula dalam lingkup pertemanan, aku hadir sebagai penengah dalam berbagai persoalan meski sebenarnya kami semua tidak jauh berbeda untuk masalah usia dan kedewasaan. Tetapi meskipun sebaya, kedewasaan seseorang tidak bisa ditentukan oleh jumlah usianya melainkan dari lingkungan dan pengalaman yang dialami selama perjalanan hidupnya.

Setiap selesai Ujian Akhir Semester (UAS), tibalah saatnya untuk para mahasiswa mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) yang digunakan sebagai syarat utama untuk menempuh mata kuliah di semester selanjutnya. Pada hari itu dosen pembimbingku dari semester pertama sampai tahap skripsi akhir nanti, sedang tidak ada jadwal untuk mengajar di kampus. Akhirnya aku dan teman-teman yang satu dosen perwalian memutuskan menuju kerumah dosen yang bersangkutan, padahal hanya untuk meminta sebuah tanda tangan persetujuan. Memang butuh sedikit perjuangan sebagai mahasiswa dan ini juga belum apa-apa menurut kebanyakan orang, karena dosen akan semakin sulit ditemui pada saat pengerjaan skripsi nanti.

Dalam perjalanan inilah, aku dan temanku Si Ayu memulai percakapan sederhana yang berbuah suatu keputusan. Dia berusaha meyakinkan diriku agar memulai kembali perjuangan dalam urusan perasaan yang sebenarnya sudah lama juga aku nomor duakan. Ayu adalah teman yang bisa dibilang sebagai pembuka jalan pertemuan dengan sosok gadis kota yang biasa aku gambarkan sebagai sebuah peristiwa Senja. Iyaa… Senja, memang tidak asing terdengar bagi kebanyakan orang. Terbayang akan sebuah keindahan apabila mendengar istilah itu di dalam telinga dan fikiran. Memang peristiwa Senja ini hadir setiap akan datangnya petang, tetapi buatku Senja adalah momen keindahan yang harus selalu diabadikan.

Senja ini adalah teman dekat Si Ayu semenjak masih duduk dibangku sekolah menengah, dia adalah gadis kota pertama yang aku perjuangkan secara perlahan dalam setiap tahapan. Awal Ayu mengenalkan sosok Senja kepadaku melalui media sosial miliknya, entah mengapa juga hanya lewat sebuah rangkaian foto dan tanpa bertatap muka langsung dengan Si Senja. Aku sudah merasakan sesuatu hal yang berbeda dari kebanyakan gadis kota yang aku temui lainnya, apakah karena memang dia jelita ataukah karena innerbeauty yang dimilikinya? Akupun bingung untuk menyimpulkannya, tetapi yang jelas aku putuskan untuk berjuang agar bisa mengenal Si Senja lebih mendalam.

Ternyata Ayu juga bercerita bahwa Senja adalah kakak tingkatku di kampus, dia setahun lebih awal masuk ke kampus tempat aku menempuh Pendidikan. Fakta itulah yang meyakinkan diriku untuk bisa jauh lebih dekat lagi dengannya, meskipun Ayu juga bercerita bahwa Senja sedang cuti kuliah karena sakit yang dia derita. Walaupun begitu keadaannya, aku putuskan untuk menunggu Senja sampai dia bisa melanjutkan studinya dalam satu atap perguruan tinggi  yang sama denganku, meski kami berada dalam tingkatan semester yang berbeda.

Pada fase menunggu itulah awal aku mencoba untuk melakukan pendekatan lewat akun media sosial miliknya yang ku dapatkan dari Si Ayu, atas persetujuan dari Senja juga pastinya aku meminta kontak akun media sosial itu. Memang komunikasi cukup kaku juga untuk di awal, apalagi hanya saling berkirim pesan singkat tanpa ada pembicaraan secara visual ataupun verbal. Tetapi setelah berjalan beberapa hari, komunikasi yang kami jalani sudah mulai menemukan alurnya dan tidak sekaku seperti di awal. Di sela-sela obrolan berjalan, aku selipkan pertanyaan yang menyangkut keadaan kesehatannya sembari bertanya juga tentang history keluarga darinya. Senja terlahir empat bersaudara dan dia adalah anak nomor dua, terlahir dari keluarga sederhana yang memiliki kultur agama kuat dan hampir sama dengan keadaan di dalam keluargaku.

Tak terasa selama enam bulan aku menunggu dirinya sembuh dari sakit yang diderita, berita baikpun ku dengar dari Si Ayu bahwa Senja akan memulai studinya lagi di semester ini. Sontak aku merasa bahagia mendengarkan hal itu, dalam diam dan ikhtiarku selama fase manunggu akhirnya sebentar lagi bisa berjumpa dengannya. Tak sabar juga rasanya ingin segera mendengar bagaimana jawaban dari lembaran biodata diri yang sebelumnya aku titipkan kepada Ayu untuk disampaikan kepadanya. Hampir setiap malam selama enam bulan berjalan dalam istikharahku, selalu aku selipkan namanya di dalam setiap do’a untuk kesehatan dan kebaikannya juga. Meskipun tak akan pernah ia sadari juga secara langsung, tetapi aku percaya bahwa suatu saat nanti dia pasti tersadar bahwa ada aku yang selalu mendo’akan dirinya dalam kebaikan.

Beberapa hari setelah Senja memulai studinya lagi di kampus, Ayu bercerita bahwa dirinya sempat bertemu dengan Si Senja tetapi hanya sebentar dan tidak cukup lama pula. Setelah Ayu mengakhiri ceritanya, akupun meminta tolong Ayu untuk mengirimkan pesan singkat yang bertujuan untuk mengatur pertemuan diriku dengan Si Senja keesekoan hari. Senjapun menyetujuinya tetapi hanya bisa bertemu saat berada dilingkungan kampus setelah jam perkuliahan saja. Bagiku tidak masalah, asalkan aku bisa segera bertatap muka dan mengobrol secara langsung dengan dirinya.

 Keesokan malamnya aku berangkat ke kampus dengan semangat yang berlebih karena ingin segera bertemu dengannya. Berbalut pakaian terbaik yang aku miliki, aku berharap bisa memberikan kesan pertama yang baik kepadanya. Karena ini adalah momen yang sudah lama aku tunggu meski konsepnya hanya pertemuan biasa. Setelah selesai mata kuliah yang kami ikuti di kampus, Ayu dan aku menghampiri Senja di depan ruang kelas miliknya. Bukan karena tidak berani untuk menemui Si Senja sendirian, tetapi aku hanya tidak ingin berduaan dengan perempuan yang sedang aku perjuangkan dalam kebaikan. Kamipun bertiga berjalan perlahan menyusuri lorong kampus dan akhirnya duduk di bangku panjang yang terletak di sudut aula kampus.

“Bagaimana Senja kabarnya? Lama tak jumpa juga kita” kalimat pertama yang Ayu ucapkan untuk memulai obrolan.

“Baik Ayu, alhamdulillah” jawab Senja sambil sesekali memandang ke arahku.

“Ada apa ini Ayu? Kok tiba-tiba mengajak untuk bertemu?” Tanya Senja dengan ekspresi yang masih sedikit kebingungan.

“Apakah aku akan di introgasi mengenai lembaran biodata yang kemarin aku terima?” sahut senja sebelum aku dan Ayu memberikan jawaban dari pertanyaannya di awal.

“Iya Senja, aku disini mengantarkan temanku untuk menanyakan mengenai hal itu” sambung Ayu berusaha untuk menjelaskan.

“Iya, aku kesini untuk menanyakan mengenai hal itu” sahutku disela-sela pembicaraan mereka.

“Aku sudah membacanya dan sudah aku pelajari juga dengan seksama, tetapi apa maksut dari semuanya yaa?” tanya senja sambil memandang ke arahku.

Dengan keringat dingin yang bercucuran karena gugup di pertemuan awal, aku berusaha menjawab pertanyaan yang Senja tujukan kepadaku.

“Begini Senja, sebenarnya aku kesini selain untuk menanyakan mengenai keputusanmu setelah membaca isi dari biodataku. Aku juga ingin menyampaikan sesuatu hal” jawabku sambil berusaha untuk mencairkan suasana yang ada.

“iya, apa memangnya?” jawab senja dengan sesekali memainkan ujung jahitan baju yang sedang dipakainya.

“Bismillahirrohmannirokhim”, ucapku dalam hati pelan

 “Aku datang dengan kemantapan hati dan niat tulus karena Allah ingin melamarmu untuk menyempurnakan separuh agama yang aku miliki” ucapku kepadanya sambil menahan degup jantung yang semakin kencang tidak karuan iramanya.

“Apa? Yang benar saja” jawab Senja sambil memandangiku dengan ekspresi muka yang diselimuti rasa terkejut.

Terlihat di sudut sisi kursi, Ayu juga hanya bisa terdiam dan memandangiku dengan sorot mata yang tajam, seakan tidak membayangkan bahwa aku akan mengatakan hal ini kepada Senja di pertemuan pertama. Setelah beberapa saat kami bertiga terdiam, Senjapun akhirnya memberikan sebuah jawaban.

“Maaf yaa mas sebelumnya, tetapi aku masih belum siap untuk sekarang. Aku harap kita bisa berteman dahulu” jawab senja dengan suara yang sedikit pelan.

“Tidak tahu juga untuk kedepannya bagaimana, yang jelas jodoh tidak ada yang tahu”. Sambung senja untuk menjelaskan jawaban yang dia berikan.

“Baiklah Senja terima kasih atas jawabannya, setidaknya aku sudah lega untuk menyampaikan semua rasa ini kepadamu secara langsung” jawabku sambil menatap kearah kedua bola matanya.

Aku dan Ayu pergi meninggalkan Senja yang masih terduduk dibangku panjang di sisi sudut aula itu. Setelah beberapa langkah, aku mencoba menoleh ke arah bangku panjang itu lagi. Tetapi Senja juga sudah terlihat berlalu pergi ke arah berlawanan dengan arahku dan Ayu berjalan.

Memang sebenarnya dari awal berangkat ke kampus di malam itu aku tidak berharap banyak kepadanya, karena aku sadar bahwa diriku hanyalah sosok sederhana yang masih banyak kekurangan menurut kebanyakan orang. Tujuan sebenarnya mengatakan hal itu di awal pertemuanku dengan dirinya hanya untuk berusaha jujur terhadap perasaan yang aku miliki selama ini. Dengan cara inilah, aku berusaha selalu menjaga rasa yang kumiliki kepadanya di dalam kebaikan dan kefitrahan juga untuknya sebagai seorang perempuan. Kita berdua memang diciptakan bagaikan sesosok Fajar dan Senja dalam realita keadaan. Tercipta dari peristiwa langit yang sama tetapi tidak pernah bisa bersatu karena berbeda asal muasal.

Aku tercipta seperti fajar yang muncul dari ufuk timur di pagi hari untuk menyinari gelap malam yang berubah perlahan menjadi terang, sedangkan dirinya tercipta seperti senja yang terbenam di ujung barat untuk menandakan akan habisnya terang dan akan digantikan dengan keindahan di gelap malam. Selamat tinggal Senja, terima kasih telah sempat datang dalam kehidupanku meski tak pernah menetap dan bersandar sejenak di dalam kisah kasihku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

 

TRISULA GADIS DESA

                Hening malam seakan terbelah saat nada pesan di telephone genggamku berbunyi, telapak tangan yang awalnya berwarna merah perlahan pucat pasi karena terhempas oleh sunyi. Perlahan aku buka isi pesan yang untaian kalimat di dalamnya mengisyaratkan, bahwa akan terjadi peristiwa yang tak pernah terbesit dalam relung fikiran. Ternyata benar firasatku semenjak siang, bahwa hari itu adalah hari terakhir dimana ujung terakhir dari trisula akan patah dan hancur menjadi sebauh serpihan. Hari dimana sebuah perjuangan akan menyisakan sebuah kenangan dan kesan yang mendalam. Inilah kisahku, bersama trisula gadis desa yang aku lalui sebelum mulai beranjak dewasa. Bagaikan trisula yang memiliki ujung runcing dan tajam, kisah ini memiliki kesan dan pesan tersendiri dalam perjalanan hidupku menuju proses pendewasaan.

                Santi, adalah seorang gadis kembang desa yang aku kenal ketika usia masih menginjak tahapan kelabilan. Usia dimana aku seharusnya masih memikirkan tentang ikatan benang sebuah layang-layang, tetapi naluriku mulai tergugah akan hal yang dinamakan kekaguman. Cukup rumit memang diawal, karena dia adalah kakak kelas dan sekaligus wakil dari guru kajianku dilingkungan pendidikan keagamaan. Meski usianya berselisih dua tahun lebih tua dariku, tetapi secara kasat mata bisa dibilang dia terlihat sebaya denganku. Karena tinggi badan kami setara menurut kebanyakan orang yang melihatnya. Berawal dari rasa kagum kepadanya, entah mengapa pula seiring waktu berjalan kekaguman itupun berubah menjadi rasa suka. Apakah karena dia lebih mahir dalam urusan agama? Ataukah karena memang dia seorang kembang desa? Memang tidak bisa dipungkiri pada saat itu untuk anak remaja seusianya, dia adalah gadis desa yang banyak disukai dilingkungan tempat tinggalnya. Bukan hanya oleh teman pria sebayanya tetapi juga oleh kakak tingkat yang lebih tua dan bahkan adik tingkat yang lebih muda darinya termasuk diriku ini hahahaha… terdengar sedikit berlebihan, tetapi memang itulah realitasnya. Gayungpun bersambut dan setelah beberapa bulan melakukan pendekatan, akhirnya dia luluh terhadap rayuan yang aku lantunkan. Rayuan bocah labil yang harusnya masih berkeliaran mencari ikan di petak persawahan dengan lubang sendal yang diikatkan di sela jemari tangan.

Seiring waktu berjalan akhirnya kami menjalin sebuah hubungan yang bisa dibilang berpacaran, dialah pacar pertamaku tetapi bukanlah dia cinta pertamaku. Hanya bertahan beberapa bulan dalam tahap kelabilan pola fikir remaja seusiaku, akhirnya relasi pertama diriku dengan seorang gadis berhenti ditengah perjalanan. Mungkin karena aku terlalu naif dalam menghadapi kenyataan karena menyukai gadis yang lebih dewasa dariku ataukah memang ini hanya sebuah kiasan untuk proses pencarian jati diri? Tetapi yang pasti aku tak pernah menyesal pernah memperjuangkan dirinya sebagai pacar pertamaku di usia remaja.

                Anik, memasuki masa sekolah menengah atas dia bisa dibilang adalah gadis desa yang membuatku merasakan sebuah konflik batik yang lumayan dalam imbasnya di dalam kehidupan. Kami adalah teman sebaya dilingkungan sekolah dan bahkan satu jurusan di sekolah menengah atas. Berawal dari konflik internal remaja yang lumayan rumit dijelaskan, aku mengenalnya secara akrab melalui pencomblangan yang direncanakan oleh teman sebangkuku Si Wira. Wira adalah teman sebangku yang membuat diriku menjadi sangat akrab dengan Si Anik. Entah apa alasan Si Wira sebenarnya, yang tiba-tiba memiliki rencana pencomblangan diriku dengan Si Anik. Setelah berjalan beberapa saat, ternyata perlahan aku mulai tahu bahwa dibalik rencana Si Wira mengenalkanku dengan Anik adalah agar dia bisa mendekati gadis yang sebenarnya aku sukai semenjak setahun lalu sebelum aku berkenalan akrab dengan Si Anik. Memang cerdik sekali Si Wira, tetapi biarlah… Asalkan kami masih bisa berteman tanpa ada prasangka buruk lagi di depannya.

Keakraban yang terjalin antara aku dengan Si Anik berlangsung semakin mendalam dan akhirnyapun kami menjadi sepasang kekasih. Bagaikan sepasang merpati, kami berdua hampir setiap waktu di sudut lingkungan sekolah melaluinya dengan bersama-sama. Saat jam pelajaran duduk sebangku berdua, makan siang ke kantin berdua di jam istirahat dan bahkan pada jam kegiatan keorganisasianpun selalu bersama. Terdengar indah memang, tetapi itu tidak berlangsung lama.

Dua bulan hubungan kami berjalan dan kabar mengejutkanpun datang dari sahabat Si Anik dan teman sekelasku juga, dia adalah Si Eka. Eka memberitahuku bahwa Anik  sebenarnya sudah mempunyai kekasih sebelum menjalin hubungan denganku, tetapi Anik tidak sanggup menyampaikan hal itu kepadaku karena takut membuatku kecewa sebab diriku sudah berharap banyak kepadanya sejak awal proses pendekatan. Sontak dalam sekejap aku termenung dan terdiam selama beberapa saat,

“Mengapa Anik tidak jujur saja kepadaku dari awal?” Begitulah perkataanku lirih dalam hati.

Sesaat setelah itu akupun lekas beranjak pergi dari hadapan Eka dan mulai menghampiri Anik yang duduk di salah satu bangku kelas. Dengan ekspresi wajah yang masih serasa tidak percaya, perlahan aku duduk di bangku kosong di sebelah Anik dan mulai bertanya.

“Anik, apakah benar semua yang dikatakan Si Eka? Tentang kekasih yang kamu miliki sebelum menjalani hubungan ini denganku?” Tanyaku dengan nada lirih kepadanya.

“Iya, memang benar” Jawab Anik dengan mata berkaca-kaca sambil menghadapkan wajahnya kepadaku.

“Sebenarnya sudah semenjak awal aku ingin mengatakannya kepadamu, tetapi aku takut akan mengecewakan perasaanmu yang terlanjur berharap lebih terhadapku” Sambung Anik dengan mata yang sudah mulai menitihkan air mata.

Akupun hanya bisa terdiam sesaat dan perlahan mengajaknya untuk berjabat tangan sambil menyampaikan perkataan terakhirku kepadanya di hari itu.

“Anik, terima kasih untuk beberapa bulan ini, meski hanya sebentar tetapi cukup berkesan dan memberikanku kebahagiaan walaupun sebenarnya semua itu ternyata hanyalah sebuah kesemuan”. Perlahan aku mulai berdiri dan melangkah berlalu pergi dari tempat duduk disebelahnya.

 Semenjak hari itu aku sama sekali tidak ingin berpapasan atau sekedar mengobrol meski hanya sepatah kata dengannya, walaupun sebenarnya kami adalah teman satu jurusan. Hal ini berjalan cukup lama sampai akhirnya setelah kami lulus dari sekolah menengah atas, aku hanya bisa mengucapkan sepatah kata yaitu “Selamat” kepadanya saat prosesi foto wisuda bersama dengan semua teman dalam satu jurusan.

                Dillah, nama yang tak akan pernah bisa aku lupakan meski hanya satu susunan abjad dari rangkaian huruf awal sampai akhir pengucapan. Dialah gadis desa dan aktor utama proses pendewasaan cintaku dalam pembentukan pola berfikir dan cara mencintai dengan penuh keikhlasan. Berlatar dari proses pencarian sebuah arti jati diri ataupun memang takdir yang mempertemukan. Tetapi ketidaksengajaanlah yang sebenarnya berperan besar dalam perjumpaanku dengan dirinya. Dialah cinta pertamaku, meskipun dia bukan pacar ataupun kekasih pertama dalam kehidupanku.

Kisah perjumpaanku dengannya bermula pada saat diriku masih aktif dalam keorganisasian intra sekolah (OSIS) saat di jenjang akhir sekolah menengah atas. Bisa dibilang dia adalah juniorku yang baru dan masih akan melalui proses pengenalan lingkungan sekolah selama masa orientasi siswa (MOS). Hari pertama masa orientasi berlangsung, aku masih belum menjumpainya dalam kunjunganku untuk mengisi materi orientasi ke setiap kelas. Sampai pada akhirnya di hari kedua masa orientasi, kami berpapasan di depan kelas secara tidak sengaja dan setahuku dirikulah senior pertama yang dia ajak bicara.

“Mas, ruang kelas untuk siswa baru dimana?” itulah kalimat pertama yang dia ucapkan kepadaku dengan senyuman ramah dihiasi lesung pipit di kedua sudut pipinya.

Sampai detik waktu aku menulis cerita ini, masih teringat jelas intonasi tutur kata yang kaluar dari bibirnya meski sudah hampir sepuluh tahun lamanya tak pernah lagi aku mendengar kabar darinya.

“Di sana” jawabku dengan ketus karena tuntutan senioritas selama masa orientasi.

Setelah momen itu, dia berjalan perlahan menuju ke kelasnya dan berlalu menjauh dari hadapanku. Sekejap mulailah timbul rasa penasaran di relung hatiku, tentang siapakah dia? Si lesung pipit yang menimbulkan rasa ingin tahu mendalam di dalam hati dan fikiran. Masa orientasi masih terus berlanjut dan selama itu pula aku mulai mencari tahu biodata tentang dirinya, siapakah namanya? Dimana tempat tinggalnya dan yang pasti apakah dia masih sendiri atau sudah punya pendamping (pacar). Tak lupa juga sesekali aku lewat di depan lorong kelasnya sambil mencuri pandang ke arah tempat duduknya.

Tibalah pada hari akhir masa orientasi, semua senior berkumpul dan berdiri di bagian depan kelas para juniornya untuk mendapatkan pesan dan kesan selama masa orientasi berlangsung. Inilah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua unsur, baik dari pihak junior maupun dari pihakku sebagai seorang senior. Karena pesan dan kesan yang dituliskan para junior di dalam kertasnya akan dibacakan secara langsung di depan kelas secara bergantian. Dari hampir seluruh siswa baru yang mengikuti masa orientasi dan terlebih perempuan, mereka menyebutkan kalau aku adalah sosok senior paling sadis, jahat, otoriter dan kejam. Wajarlah, karena memang itu peran yang sedang aku jalankan selama masa orientasi agar terlihat berbeda dari senior-senior lainnya.

Tetapi bagaikan pucuk di cinta ulam pun tiba, akhirnya tibalah giliran Si lesung pipit itu dan ternyata  Dillah adalah namanya. Dialah junior satu-satunya yang menuliskan kesan dan pesan positif tentangku di kertasnya, yang dia bacakan sendiri di depan kelas. Pesan dan kesan itu berisi jika aku bukanlah orang yang seperti kebanyakan junior lain tuduhkan. Melainkan sebaliknya, dia memberikan pembelaan kepadaku jika sifatku yang seperti itu adalah agar juniornya menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki mental lebih kuat selama masa orientasi berlangsung. Seketika akupun tercengang dan perlahan melangkah menghampirinya, sambil diselimuti rasa tidak percaya kuambil kertas yang dia pegang dan aku bacakan lagi secara lantang dihadapan para junior dan senior di depan kelas itu juga. Ternyata memang benar, kalimat-kalimat itulah yang dia tuliskan mengenai kesannya terhadapku selama masa orientasi. Sorak sorai para juniorpun bersaut-sautan di dalam kelas, seakan kalimat-kalimat kesan itu adalah penanda bahwa ada sesuatu yang tersirat di dalam sebuah untaian tulisan.

                Tiga bulan berjalan setelah masa orientasi usai, aku masih dengan gigih untuk memperjuangkan rasa suka yang mulai tumbuh mengembang terhadapnya. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, akhirnya aku ungkapkan segala rasa yang sebenarnya sudah terpendam selama beberapa bulan. Empat belas hari setelah aku ungkapkan rasa, akhirnya dia memberikan jawaban untukku secara bertatapan muka langsung saat sore itu di sudut rumah seorang sahabatnya.

“Iya Mas, Aku mau” itulah perkataan singkat yang dia ucapkan untuk membalas segala kegundahan yang sudah timbul selama dua minggu lamanya menunggu jawaban darinya.

Setelah aku selesai wisuda di jenjang sekolah menengah atas, kami masih menjadi sepasang kekasih yang hari-harinya dilewati dengan ke absurd an remaja pada umumnya. Setiap sebulan sekali kami menyiapkan sajak-sajak kata yang di dasari oleh untaian kata berbahasa korea (mulok), menyempatkan bertemu seminggu sekali di tepi sungai sekitaran rumah hanya untuk mengobrol, beralasan belajar kelompok dirumahku padahal hanya untuk mengobati rasa rindu, daftar paket telephone seluler tengah malam sampai waktu subuh dan bahkan saling tukar kado setiap genap setahun berpacaran. Saat bersamanya adalah momen paling berbunga-bunga dan berharga dalam urusan cinta. Karena meski dia lebih muda dariku, tetapi kedewasaannya dalam pola berfikir sekaligus kesabaran yang dia miliki lebih jauh tinggi kadarnya di atas remaja normal seusianya.

Hingga akhirnya dua tahun berjalan, disinilah kisah kelam datang tanpa ada yang mengundang. Setelah lulus dari sekolah menengah atas aku putuskan untuk bekerja dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Selain faktor kebutuhan keluarga juga, karena ingin segera menabung untuk menghalalkan dirinya. Memang dari awal kami berdua berkomitmen jika akan membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius meski harus menikah muda.

Aku titipkan segala kepercayaan kepada dirinya di desa dan aku pergi merantau ke kota untuk memperbanyak pundi-pundi tabungan. Diperantauan dalam benakku hanya bekerja dan bekerja, percaya bahwa dia akan menungguku sambil melanjutkan beasiswanya ke perguruan tinggi. Dia memang cerdas hampir sama denganku, maka dari itu juga dia mendapatkan beasiswa di berbagai perguruan tinggi negeri yang dia ingini dan dijamin oleh negara segala biaya kehidupannya. Tetapi angan tinggalah menjadi sebuah impian belaka.

Beberapa bulan setelah dia lulus dari bangku sekolahan. Terdengar kabar dari keluargaku jika dia sudah dijodohkan oleh ibunya kepada orang kaya di desaku, di awal memang dia menolak dan bersikukuh untuk mempertahankan hubungan ini. Tapi keluargaku menyarankan agar disudahi saja hubunganku dengannya, karena ditakutkan psikisku yang terancam jika masih bersikukuh untuk bersama dan menentang keputusan ibunya.

Apalah daya, setelah aku fikirkan juga kedepannya tidak akan baik bila dipaksakan dan akhirnya kami putuskan untuk mengakhiri hubungan ini. “Cinta memang patut untuk diperjuangkan, tetapi ibu adalah kunci surga yang harus diprioritaskan”. Begitulah pesan terakhirku kepadanya setelah kami sepakat untuk menjalani kehidupan masing-masing secara terpisah. Terima kasih ku ucapkan selama dua tahun lamanya sudah bersedia berjalan beriringan sekaligus memberikan kesan tentang kehidupan yang tak akan bisa terlupakan. Semoga kebahagiaan selalu berpihak kepada dirimu, cinta pertama dan mantan terindahku.. Dillah…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS