RSS

KLISE

          Masih terdengar jelas suara tangismu di malam itu. Malam yang sebenarnya memancarkan sinar terang merekah, malah seketika berubah menjadi gelap gulita. Sambil perlahan kau usap air mata yang berada di pipimu, akupun hanya bisa tertegun sambil berusaha menenangkan apa yang sedang terjadi dihadapanku. Bait demi bait ucapan yang keluar dari mulutmu, semakin samar karena isak yang semakin sering terdengar. Entah apa yang terjadi sebenarnya tetapi malam itu adalah malam yang terasa berat untukku, karena harus melihatmu menangis tersedu di depan mataku. Tangis yang sebenarnya tak pernah terbayang olehku akan engkau teteskan, hanya untuk menghormati orang seperti diriku.

          Setahun telah berlalu semenjak peristiwa itu. Tetapi tak pernah hilang sedikitpun dari ingatanku terhadap sosok yang selama beberapa tahun menemani dikala bimbang ataupun kebingungan. Memang hampir tidak ada yang istimewa darinya, tetapi dirinya adalah orang yang selalu ada di kala aku membutuhkan nasehat dan kata-kata bijak dalam menyelesaikan persoalan. Dengan ciri khas yang dimilikinya, apapun yang dinasehatkan untukku hampir semua pernah aku lakukan. Mulai dari cara berbicara, cara bagaimana menjadi seorang pria dan cara untuk lebih perhatian terhadap keluarga. Memang seperti itulah kami, saling melengkapi dan menasehati jika sedang berada dalam sebuah frekuensi. Tanpa banyak menyimpulkan kata-kata, ikatan persahabatan ini terjalin dengan banyak memiliki arti. Arti dari saling mengerti ataupun arti untuk saling memberikan solusi. Tetapi ini tak berlangsung lama, hanya tak lebih dari sewindu lamanya.

          Tepatnya setelah keadaan yang mengharuskan kami untuk terpisah karena jarak. Jarak yang membuat semuanya perlahan menjadi sirna. Saling mengerti berubah menjadi saling sibuk dengan urusannya sendiri. Saling menasehati malah kadang menjadi ego yang masing-masing ingin selalu menjadi yang paling dimengerti. Tak pernah lagi bisa saling mendapatkan solusi meski pembicaraan kadang sampai bisa dini hari. Memang kemistri sudah mulai luntur dan tak memiliki arti tersendiri. Padahal hanya jarak yang harusnya bisa dilalui, tetapi malah membuat semuanya tidak bisa seperti di awal lagi. Pada akhirnya akupun harus perlahan melangkah untuk pergi menyendiri, meski sebenarnya berat untuk dilalui. Tetapi ini adalah hal terbaik agar bisa saling mengintroksi diri.

          Sesekali hanya pesan singkat yang bisa terkirimkan dalam jangka waktu yang tak pasti. Mungkin bisa seminggu sekali, atau bahkan bisa sampai menunggu sebulan hanya untuk bisa saling berkabar. Mungkin karena sama-sama memiliki kesibukan apalagi masalah pekerjaan jadi maklumi sajalaaah, fikirku yang terlintas di dalam diri. Dalam isi pesan singkatmu itu juga tergambar bahwa dirimu sedang tidak sendiri, ada seseorang yang menjagamu dan menemanimu setiap harinya disana. Selama beberapa tahun lamanya, akupun ikut bahagia mendengarnya karena pada akhirnya bisa juga dirimu untuk memulai hal yang dahulu sulit untuk dilakukan. Cukup lama juga dirimu bersamanya, jadi tak perlu khawatir pula aku untuk memastikan apakah dirimu baik-baik saja disana. Hal inilah yang mungkin membuat kita semakin renggang antar satu sama lainnya hingga berbulan-bulan lamanya.

          Setelah hampir tiga tahun berlalu, akupun iseng untuk menanyakan perihal siapa sosok yang sering tergambar dari pesan singkatmu itu. Tetapi seperti biasa, saat salah satu diantara kita punya hubungan asmara dengan seseorang tak pernah ada yang mau bercerita. Jangankan untuk tahu sifatnya, untuk tahu namanyapun tak bisa terucap meski hanya untuk mengisi obrolan yang kadang kehabisan pembahasan. Entah untuk saling menjaga privasi atau agar bisa fokus mengobrol tentang berdua tanpa mencampurkan unsur-unsur lainnya. Tetapi tak sengaja dalam obrolan kali ini, ada hal yang tiba-tiba membuatku terkejut mendengarnya.

          Hal yang membuatku sekejap hilang fokus dalam obrolan dan sedikit resah setelah mendengarnya. Bahwa kenyataannya sudah hampir tiga bulan lamanya dirimu  tidak bersamanya lagi, padahal hubunganmu dengannya sudah hampir masuk tahun ketiga dan malah hampir melangkah ke jenjang yang lebih serius untuk kedepannya. Inilah akibat dari komunikasi yang sudah jarang dilakukan lagi, sebagai sahabat dekat akupun ikut merasa sedih dan bersalah. Tak terbayang bagaimana dirimu melalui hal seberat itu sendiri tanpa ada yang bisa dirimu mintai pendapat lagi. Sampai kulihat berat badanmu banyak susut karena berbagai masalah yang dirimu hadapi sendiri.

          Tetapi setelah ini meskipun aku tak bisa berjanji, aku akan tetap berusaha untuk ada menemanimu. Membuatmu bisa bersemangat lagi dalam menjalani kehidupan meski membutuhkan proses yang tidak gampang. Sesering mungkin memberikan kabar meski dalam segala kesibukan. Tak akan lagi aku berusaha untuk memberikan jarak meski situasi kadang tidak sesuai yang diinginkan. Agar dirimu merasa tidak kesepian dan kesusahan saat menghadapi masalah hidup yang cukup memberatkan. Kita rangkai lagi apa yang dulu sudah pernah kita lalui, lebih dieratkan lagi dan jangan pernah menghilang dari benakku meski hanya seminggu ataupun sehari lamanya. Jadilah yang pertama mendengar keluh kesahku dan yang pertama juga dalam menasehatiku. Entah apa yang terjadi untuk kedepannya diantara kita. Tetapi jangan kemana-mana yaa, tetaplah disini bersamaku….

  


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

 

PINK

Sebuah warna yang terbentuk dari dua percampuran antara mayoritas unsur merah dan minoritas unsur putih. Perpaduan warna yang bagi kebanyakan orang mencerminkan sebuah sifat kelembutan dan keanggunan. Di dasari unsur merah yang bisa menggambarkan sebuah keberanian dan tekad yang kuat, dilengkapi dengan torehan sedikit unsur putih sebagai sebuah penyeimbang yang mewakili sebuah ketulusan. Pink memang sebuah warna yang tidak murni terbentuk dari satu unsur, warna ini bisa memadukan kedua unsur yang sebenarnya tidak bisa disatukan tetapi saat dikolaborasikan bisa membentuk unsur warna yang malah memiliki sebuah keindahan tersendiri bagi sebagian insan.

Siapa yang akan menyangka jika sebuah warna ini bisa juga untuk dijadikan panggilan dari sebuah nama seseorang. Seseorang yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya bisa untuk aku jumpai ataupun aku kenali di masa sebelumnya. Awalnya memang pernah dalam suatu moment aku sekilas melihat foto darinya yang disodorkan oleh teman sejawatku saat berada di tongkrongan, kesan pertama hanya tergambar sifat yang biasa aku lihat dari kebanyakan wanita yang aku temui. “Judes”.. iya, kata itulah yang pertama kali aku ucapkan saat awal melihat sekilah foto yang berada di dalam media sosial temanku. Entah kenapa tiba-tiba hanya itu yang bisa aku ucapkan secara spontan tanpa sebelumnya tahu banyak tentang gambaran sifat ataupun kepribadiannya. Tetapi ternyata cerita tentangnya tidak hanya berhenti di moment itu.

Beberapa bulan setelah kejadian itu berlangsung. Aku baru sadar jika ada teman cowokku yang sedang mencari pendamping untuk kelangsungan hidupnya di masa depan, maklum dia jomblo sudah cukup lama sampai mungkin lupa dengan apa yang namanya cinta wkwkwkwk…. Tak butuh waktu lama akupun memiliki ide untuk mengenalkan kepadanya tentang wanita yang aku bilang si Judes itu. Dalam benakku siapa tahu mereka berdua juga bisa cocok dan saling melengkapi, soalnya dari apa yang dituturkan oleh teman tongkronganku jika wanita itu juga masih single dan sedang tidak memiliki pendamping juga. Jika difikirkan secara wajar sesama jomblo seharusnya bisalah untuk saling mengenal, setidaknya bisa saling menghibur untuk keduanya. Meskipun andaikan tidak ditemukan sebuah kecocokan bisa juga dijadikan seorang teman, tetapi jika bisa satu kata dan pemikiran alhamdulillah juga pada akhirnya hahahaha…

Perkenalan itu akhirnya bisa direalisasikan, mereka berdua aku dan teman tongkronganku kenalkan lewat media sosial. Setelah mereka saling mengikuti dan berkomunikasi di media sosial tersebut, aku dan teman tongkronganku hanya bisa memantau dari kejauhan saja sambil menjelaskan secara perlahan kepada masing-masing keduanya mengenai sifat dan kepribadian yang dimiliki, bisa dibilang aku dan temanku itu sebagai perantara perkenalannya atau biasa disebut “Comblang”. Ternyata setelah waktu dan komunikasi berjalan, mereka berdua merasa ingin melakukan pertemuan langsung agar bisa lebih mengenal antara satu dengan lainnya. Aku dan teman tongkronganku hadir juga dalam pertemuan keduanya, karena agar tidak merasa canggung karena ini adalah pertemuan awal. Moment ini juga adalah pertama kali aku bisa berjumpa dengan si Judes itu.

Seperti biasanya, untuk mencairkan suasana aku bertingkah selayaknya orang yang sudah kenal lama bukan orang yang pertama kali untuk bertemu. Bisa disebut juga tingkah-tingkah konyolku malah cenderung membuat orang yang sedang nongkrong denganku merasa malu, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan agar bisa mencairkan obrolan di pertemuan pertama. Semakin malam obrolan semakin menuju kearah yang lebih cenderung serius mengenai identitas masing-masing orang yang baru pertama kali bertemu. Tetapi seperti di tongkrongan biasanya, aku yang paling banyak bicara dan bercerita sampai-sampai menghabiskan minuman lebih dari segelas yang dipesan di awal.

“Padahal tujuannya melakukan pertemuan ini untuk mencomblangkan dua orang yang belum pernah bertemu dan hanya berkomunikasi lewat media sosial, tetapi malah kenapa aku yang banyak bercerita? hufh” berkata di dalam hati dengan lirih.

Maklum memang menurutku hal ini sering terjadi karena kecanggungan di pertemuan awal, apalagi untuk orang yang sedang menuju ke arah yang lebih serius dalam sebuah pertemanan. Sebagai seorang comblang, aku juga harus bisa menggali informasi sebanyak-banyaknya dari orang yang sedang teman cowokku dekati di pertemuan ini. Tak kadang pertanyaanku malah semakin frontal dan tidak terkendali, maklum juga aku orangnya blak-blakkan beda dengan teman cowokku yang lebih cenderung diam karena masih belum bisa beradaptasi dengan suasana yang terjadi.

Memang sulit juga untuk melihat kepribadian seseorang di saat baru awal melakukan pertemuan. Tak banyak juga dari pertanyaan-pertanyaanku yang bisa menemukan sebuah jawaban. Tetapi satu point penting yang aku dapatkan dari si Judes yang sedang temanku dekati. Dia adalah sosok wanita yang memiliki sebuah prinsip kuat di dalam dirinya, terlihat dari caranya memberikan jawaban dari setiap pertanyaan dan dari sorot matanya yang tajam saat berbicara dengna orang. Baru pertama kali aku dan teman cowokku bertemu dengan wanita seperti dia, siapapun yang berbicara matanya selalu tertuju tajam kepada wajah atau mata orang yang sedang berbicara. Tak jarang juga aku mengalihkan tatapan mataku ke arah yang tidak menuju ke arah matanya saat sedang berbicara, kadang ke arah atap, ke arah pengunjung lain ataupun ke arah wanita-wanita pengunjung café lainnya yang sedang lalu lalang mencari tempat duduk untuk memesan makanan.

“Haahh,,,, cantiknya wanita-wanita pengunjung itu” “bahkan ada yang memakai pakaian yang kurang pantas juga, hitung-hitung sebagai wahana cuci mata mumpung malam minggu juga wkwkwk” batinku berkata dalam hati.

Memang terkesan tidak sopan saat berbicara tetapi matanya mengarah kemana-mana, tetapi aku tidak bisa jika saat berbicara secara terus menerus diperhatikan apalagi sorot matanya mengarah tajam. Teman cowokku juga merasakan hal yang sama seperti yang aku alami saat berbicara dengannya. Setelah pertemuan itu selesai dilakukan, semuanya pulang menuju rumah masing-masing karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Setibanya dirumah, aku menelfon teman cowokku untuk menanyakan bagaimana kesan setelah pertemuan pertama itu. Ternyata kesan yang senada denganku juga dirasakan oleh temanku itu. Akupun memberikan saran jika memang dialah wanita yang menurutku tepat untuk temanku setelah pertemuan pertama itu berlangsung. Setelah pertemuan pertama itu, mereka berdua semakin intens dalam komunikasi dan semakin bisa senada seirama satu sama lainnya, terdengar dari cerita teman cowokku itu dalam setiap aku bertemu dengannya. Akupun ikut bahagia mendengarnya, karena ternyata tidak sia-sia usahaku untuk mengenalkan mereka berdua.

Entah kenapa setelah beberapa minggu berjalan. Ada sebuah cerita yang menggambarkan jika teman cowokku itu merasa ada yang kurang cocok dengan wanita itu. Ada sebuah prinsip yang tidak sejalan yang membuat komunikasi diantara mereka mulai renggang dan tidak senada lagi. Padahal ada sebuah rencana besar yang akan dilakukan oleh teman cowokku kepadanya saat ia akan pulang kerumah orang tuanya dari tempat perantauannya. Sontak akupun sebagai seorang teman juga terkaget mendengarnya padahal menurutku masih baik-baik saja tapi malah mendengar cerita seperti itu setelah mereka berdua bertemu dalam pertemuan kedua.

Beberapa minggu setelah hal itu terjadi, temanku akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendekatan kepada wanita itu lagi. Dia berpamitan melalui pesan singkat yang dikirimkan dengan penuh untaian kata maaf dan terima kasih tentang sebuah kisah yang pernah menemaninya membuka secerca asa meski hanya sebentar waktunya. Dalam bimbangku apa yang seharusnya aku perbuat setelah ini, apakah akan memang selesai begitu saja. Sebagai seorang teman, akupun berusaha untuk meluruskan kesalahfahaman yang sudah terjadi, setidaknya apabila mereka tidak bisa menjadi komitmen tapi bisalah untuk menjadi teman jalan-jalan bareng.

Lewat akun media sosial milik wanita itu, aku kirimkan pesan singkat agar bisa bertemu. Awalnya hanya untuk meminta tolong diantarkan membelikan kado untuk teman nongkrongku yang sedang berulang tahun. Akhirnya ia bersedia mengantarkanku kesebuah tempat pembelanjaan. Setelah berputar-putar untuk membeli kado itu, aku mengajaknya untuk ngobrol di sebuah tempat penjual kopi yang tak jauh dari tempat di mana membeli kado.

Setibanya di tempat itu, aku mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tentang kesalahfahaman antara mereka berdua. Akupun hanya bisa berharap setelah aku menjelaskan secara detail, mereka bisa kembali seperti awal meski sebenarnya berat karena temanku sudah terlanjur memutuskan berhenti dan berbalik arah. Jikapun tidak seperti di awal, mereka bisa menjadi teman dan tidak ada lagi sebuah kecanggungan.

Gayungpun bersambut, beberapa hari setelah aku mencoba meluruskan apa yang telah terjadi. Akhirnya mereka berdua bisa berkomunikasi lagi meski tidak seintens di awal saat proses pendekatan. Tetapi cerita tidak hanya sampai disana. Setelah mereka berdua memulai komunikasi lagi, ternyata wanita itu sekarang yang berusaha mengungkapkan rasa kepada teman cowokku. Padahal sudah sejak awal saat setelah selesai membeli kado itu aku jelaskan bahwa hal itu sudah tidak mungkin terjadi lagi karena semua sudah terlanjur terjadi. Sebut saja wanita itu pink, iyaa dia adalah pink. Seorang wanita yang awalnya takut akan mengakui sebuah rasa, tetapi akhirnya ia belajar menjadi orang yang jujur terhadap rasa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Sebuah kemajuan yang cukup besar juga, karena tidak semua orang bisa jujur terhadap rasa yang ada di dalam dirinya meskipun hasil yang diinginkan tidak sesuai dengan harapannya.

Sejak peristiwa itu, aku tak jarang pula berkomunikasi dengan si Pink. Membahas masalah-masalah yang biasa dibahas oleh orang yang hampir seumuran. Maklum kami hanya berjarak dua tahun jadi tidak terlalu jauh mengenai pola pemikiran. Tetapi meski begitu dia adalah senior dalam masalah Pendidikan, dia lebih awal menggapai gelar sarjananya daripada diriku orang yang lebih tua darinya. Tak jarang aku meminta bantuan mengenai tugas-tugas yang sedang aku dapatkan dari perkuliahan, terima kasih yaa pink sudah banyak membantuku wkwkwk. Tak jarang pula dia meminta saranku mengenai permasalahan yang sedang ia hadapi dalam kehidupan, kadang tangisnya ada sebagai bumbu dari sebuah cerita yang diungkapkan. Aku hanya bisa memberikan saran semampu dan setahu diriku saja, tidak kurang dan dilebih-lebihkan sedikitpun dari kapasitasku sebagai seorang manusia. Tak jarang pula aku merasakan keanehan setiap peluh jatuh dari kedua bola matanya, tak seharusnya dia terisak seperti itu karena aku tahu dia adalah pribadi yang kuat dan tidak manja. Tetapi wajar juga menurutku karena dia adalah seorang wanita yang menangis saat tidak bisa mengungkapkan suatu hal dengan kata-kata.

Tak jarang pula kami bercerita atau sekedar sharing dalam masalah kehidupan. Masalah percintaan, keluarga ataupun masalah-masalah lainnya yang orang lain juga pernah mengalaminya. Untuk masalah percintaan mungkin aku yang paling dominan bercerita, karena aku memang sangat tidak faham mengenai satu hal ini. Entah mengapa untuk hal yang satu itu aku lebih banyak meminta saran kepada banyak orang, padahal saat orang lain bercerita aku sebenarnya bisa memberikan saran. Apakah ini yang dimaksud bahwa manusia ditakdirkan menjadi makhluk sosial? Karena saat menghadapi masalah dia harus meminta bantuan dari orang sekitarnya, meski sebenarnya masalah itu juga sering dimintai saran kepada dirinya sendiri. Tetapi entahlah, aku juga bingung menyimpulaknnya.

Waktu demi waktupun berjalan dengan normal dan tidak ada masalah apapun dalam pertemanan ini. Kami berempat bahkan beberapa moment bisa nongkrong bersama dan bercerita kesana kemari dengan penuh canda tawa. Saling berbagi cerita dan pengalaman hidup yang pernah dialami oleh masing-masing dari kami.

Tepat di hari tahun baru di tahun ini. Ibuku berulang tahun yang ke 52. Aku merayakannya dengan sederhana hanya dengan ucapan dan sebuah kue yang aku persembahkan untuk beliau disetiap tahunnya. Sebelum meniupkan lilin seperti biasa kami menguntai do’a agar bisa dikabulkan keinginan di tahun ini. Dimulai dengan mencium tangannyaa akupun ingin mendengar apa yang beliau inginkan dariku di tahun ini.

“Sudah cukup lama ibu tidak mendengar ceritamu mengenai seseorang perempuan? Biasanya selalu menceritakannya kepada ibu” dengan nada lirih ibu mengatakan hal itu sambil menatap kearah wajahku.

“Sebenarnya belum ada yang sangat dekat denganku bu, Cuma ada satu orang yang ingin aku ceritakan tetapi aku ragu untuk hal itu” jawabku dengan nada bicara yang datar.

Tak pernah ku sangka di tahun ini hal itu bisa terlontar dari perkataan beliau, karena sebenarnya belum pernah sekalipun beliau meminta dikenalkan atau minta diceritakan mengenai siapa sosok yang sedang denganku. Maklumlaah, aku adalah si single yang jarang bisa suka dengan wanita, butuh waktu cukup lama hanya untuk bisa benar-benar suka kepada seseorang.

“Tidak apa-apa ceritakan saja, ibu ingin mendengarkan sebuah cerita di hari ulang tahunmu ini” sahut ibuku sambil mendekat ke arahku.

Perlahan aku buka media sosial di handphoneku dan aku cari sebuah foto seseorang yang aku ingin ceritakan kepada beliau. Setelah aku tunjukkan fotonya, perlahan aku ceritakan tentang kepribadian dan keadaan darinya yang aku ketahui. Setelah aku rasa cukup untuk bercerita. Aku mencoba keluar dari beranda media sosialku, tiba-tiba muncul sebuah foto di bagian explore media sosial yang detik itu juga ibuku langsung menanyakannya kepadaku.

“Sebentar, jika yang itu fotonya siapa? Tanya ibuku dengan lirihnya.

Akupun mengklik foto yang muncul itu dan masuk ke akun media sosial miliknya.

“Ini adalah temanku, namanya adalah Pink. Dia adalah sahabat dari teman kuliahku yang tempo hari aku ceritakan kepadamu itu bu” jawabku sambil perlahan berbaring di atas Kasur.

Tetapi entah kenapa, setelah aku tunjukkan fotonya ibuku malah semakin banyak bertanya lagi tentangnya. Tentang berapa usianya, dimana rumahnya dan bagaimana keadaan keluarganya. Akupun tidak ada firasat apa-apa mengenai pertanyaan itu, karena itu adalah pertanyaan standart yang biasa beliau lontarkan kepada setiap teman yang aku kenalkan. Aku jawab pertanyaan itu dengan perlahan agar ibu mengerti tentang siapakah sebenarnya temanku ini.

Tak selang beberapa lama setelah obrolanku ini, handphone yang sedang aku pegang berbunyi. Ternyata itu adalah panggilan dari kakakku yang sedang berada di perantauan juga. Lewat panggilan video kakak menghubungiku tepat di hari ulang tahun ibu.

“Selamat ulang tahun bu, Panjang umur dan sehat selalu” ucap kakakku beserta istrinya yang sedang berada dalam panggilan.

“Iya amiin, terima kasih nak” sahut ibuku dengan senyum yang menyimpul dari wajahnya.

Seperti biasa obrolah diantara kami berlangsung seperti biasanya, tentang kabar dan bagaimana keadaan di masing-masing tempat selama pandemi ini berlangsung. Tak terasa di tengah perbincangan itu, timbul sebuah pertanyaan dari kakakku.

“Adik sekarang dengan siapa bu? Masak belum ada seseorang yang diceritakan ke ibu?” tanya kakakku dengan nada yang diselingi bercandaan.

“Barusan ibu diberikan cerita mengenai dua orang yang sedang berteman dengan adikmu” jawab ibu sambil tertawa pelan.

Akupun sedikit kebingungan dengan jawaban dari ibu, padahal sebenarnya aku hanya mengenalkan seseorang kenapa sekarang jadi dua orang. Ternyata si Pink juga menjadi topik pembicaraan di moment ini.

“Lho memangnya anak mana saja bu? Tanya kakakku dengan nada penasaran.

Ibupun bercerita mengenai kedua sosok itu sesuai dengan apa yang aku telah ceritakan di awal. Sembari aku membantunya jika ada informasi yang kurang tepat dalam penyampaiannya.

“Owgh begitu, terus adik akhirnya bagaimana? Apakah sudah mengambil keputusan bu? Tanya kakakku lagi dengan didampingi istri disampingnya.

Sembari mengajukan pertanyaan, sesekali kakakku memberikan nasehat-nasehat yang biasa dia berikan kepadaku. Maklumlah dia adalah sosok pengganti bapak didalam keluargaku, bukan hanya nada suaranya tetapi wajah dan gaya bicaranya juga identik dengan apa yang aku ingat dari almarhum bapakku dulu.

Setelah hampir satu jam lebih obrolan ini berlangsung. Ibu, kakakku dan istrinya mengadakan voting dan hasilnya senada. Diakhir percakapan ibu hanya berpesan kepadaku.

“Nak, pilihlah dia yang bisa menghargai dirimu, tidak perlu menjadikanmu sebagai orang lain agar dia menyukaimu, tetapi dengan ke apa adaaanya dirimu dia bisa tertawa dan menangis dihadapanmu. Hal ini akan terasa saat dirimu berbicara secara langsung berdua dengan salah satu diantara keduanya.” ucap ibu sambil mengelus pundakku dengan perlahan.

Setelah menyampaikan hal itu, kamipun mengakhiri obrolan di malam itu. Sontak setelah moment itu akupun terfikirkan akan nasehat ibu dan kakakku itu. Hampir semalaman aku masih terus menerus memikirkan tentang nasehat itu. Sempat pula aku merasakan insomnia yang mengakibatkan malamku sedikit beda dari biasanya, padahal keesokan harinya aku masih harus masuk kerja.

Pada malam itu juga, akhirnya aku mendapatkan sebuah jawaban dari maksud nasehat yang diberikan. Mengenai rasa yang harusnya aku condongkan kepada siapa.

“Iya, harusnya kepada si dia aku memperjuangkannya bukan kepada yang satunya” kataku di dalam hati sambil melihat kelangit langit kamar.

Setelah seminggu aku mendapatkan keputusan mengenai hal itu, sembari aku mulai mengumpulkan perlahan keberanian untuk bisa mengungkapkan apa yang harusnya aku katakan. Di pagi hari aku membuat janji dengannya untuk bertemu di sebuah tempat penjual kopi yang sebelumnya aku juga pernah berjumpa, dia mengiyakannya untuk bertemu di malam hari setelah pulang kerja.

Di hari itu aku datang lebih awal sambil beradaptasi dengan kondisi yang ada, aku pesan sebuah kopi yang menjadi favoritku selama ini sambil kupesankan juga minuman yang biasa dia pesan. Sambil menunggu dia datang, aku menyempatkan untuk bermain game terlebih dahulu untuk mengusir rasa nervousku juga untuk menunggu kedatangannya. Tak beberapa lama berselang, akhirnya dia datang dan langsung menuju meja yang sudah aku tempati di awal. Obrolan dimulai dengan biasanya sembari ditemani asap aroma penjual sate yang sedang menjual dagangannya, kami saling bercerita tentang apa yang di alami selama liburan tahun baru ini. Tertawa seperti biasanya dan bergurau seperti normalnya pertemuan biasanya juga. Tak beberapa lama aku sempatkan berpamitan untuk ke kamar kecil sembari berusaha mengusir rasa canggung yang aku rasa.

Setelah dari kamar kecil, aku kembali menuju meja yang sedang ditempatinya. Setelah aku rasa di moment yang tepat, aku awali dengan mengirimkan sebuah pesan yang berisikan dengan biodata singkat mengenai penggambaran diriku. Sempat terlontar komentar yang agak menohok setelah dibukanya pesanku.

“Kok dengan begini ini lagi? Apakah ini yang akan kamu kirimkan kepadanya? Tanya dia spontan kepadaku.

Mungkin dia mengira biodata itu akan aku kirimkan kepada orang yang sering aku ceritakan juga kepadanya.

“Bacalah saja dulu sampai selesai, baru nanti akan aku jelaskan” jawabku dengan nada datar.

Setelah beberapa menit dia membaca biodata itu, akupun mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas yang aku bawa. Iya, itu adalah sebuah gelang. Gelang yang sudah lama aku simpan.

“Apakah Cuma begini ini? Kuranglaah menurutku” komentarnya dengan nada agak sinis.

“Aku mengirim hal itu bukan untuk dia, tetapi untukmu” ucapku sambil memandang ke arahnya.

Tak banyak kata yang bisa dia ucapkan setelah aku bilang begitu kepadanya. Sambil perlahan aku minta untuk meletakkan tangan di atas meja, aku pasangkan juga gelang yang tadi sudah aku bawa. Perlahan aku mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sehingga aku mengambil keputusan akan hal ini.

“Kenapa aku? Apa yang membuatmu bisa yakin kepadaku? Tanyanya kepadaku dengan ekspresi wajah kebingungan.

“Pink, maaf sebelumnya mungkin ini sangat mengagetkan untukmu. Tetapi memang keputusan inilah yang aku ambil dan menurutku terbaik untuk saat ini.” Jawabku dengan perlahan

Dengan ekspresi wajah yang masih kebingungan dan serasa tidak percaya karena tidak pernah terbayangkan dibenaknya jika akan terjadi moment seperti ini.

“Aku hanya ingin jujur dengan apa yang selama ini aku rasakan. Denganmu aku tidak perlu menjadi orang lain untuk dihargai. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat berbicara denganmu dengan keapa adaanya diriku ini. Maaf juga jika ini mengagetkanmu, membuatmu punya beban fikiran dan malah mungkin membuatmu merasa kebingungan. Aku ingin membangun rasa ini denganmu karena apa yang dibangun akan bertahan lebih lama daripada dengan apa yang tumbuh, karena yang tumbuh akan mengalami fase kematian pada akhirnya. Aku memang sadar ini adalah situasi yang sulit, karena sebelumnya kamu pernah mengalami sebuah proses dengan temanku sendiri tetapi setelah ini aku akan berusaha menjelaskan kepadanya” jawabku dengan pelan dengan sesekali menyimpulkan senyuman.

Mungkin saat aku sedang menulis cerita ini, kamu masih dengan rasa bingungmu atas apa yang aku sampaikan. Tetapi dari dalam diriku yang terdalam aku meminta maaf kepadamu yaa Pink, karena menambah beban fikiranmu yang ada karena ulahku. Karena aku hanya ingin setelah hal ini nanti menemukan jawabnya, aku ingin melihat sorot matamu memancarkan kejujuran yang sebenarnya. Aku hanya melihat jika tawamu selama ini hanya ingin menutupi segala kesedihan dan kegundahan yang dirimu alami. Pintaku padamu hanya tersenyumlah jika memang dirimu benar-benar merasa bahagia, dan menangislah jika memang dirimu sedang merasakan duka. Dirimu tak perlu sepertiku yaa pink, yang selalu menyimpulkan senyuman dan merasa paling bahagia apapun yang sedang aku rasakan. Aku memang sudah terbiasa dengan keadaanku ini sejak dahulu, tetapi untukmu aku minta jangan seperti aku yaa.

Aku percaya jika dirimu adalah sosok yang sangat kuat dalam menghadapi segala masalah yang ada. Jika butuh bantuan pendapat, jangan sungkan juga untuk bercerita kepada orang-orang yang berada disekelilingmu. Lebih sensitiflah kepada keadaan sekitarmu, bahwa masih banyak orang yang peduli dan berempati terhadapmu. Dirimu tidak sendirian pink, masih ada kedua orang tua yang bisa juga dirimu mintai nasehat jika orang disekitarmu tidak bisa memberikan jawaban atas segala problematika hidupmu. Dirimu bisa menasehati teman-temanmu saat mereka butuh pendapat, jadi sadarilah jika dirimu sebenarnya adalah sosok yang kuat.

Pink, apapun yang dirimu katakan nanti. Aku akan menjadi orang yang sama saat biasa kita bercerita, aku tidak akan berubah sejengkal atau selangkahpun dari biasanya. Jadi jangan jadikan beban fikiran yaa pink atas perkataanku kemarin itu. Jawablah sesuai dengan apa yang memang benar-benar kamu rasakan. Maaf dan terima kasih yaa pink atas semuanya…

 

 

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

 

BUNGSU, TERIMA KASIH…

                Terkadang merelakan hal yang belum bisa kita raih adalah sesuatu yang memerlukan sedikit perjuangan lebih untuk melanjutkan hidup kedepan. Entah itu tentang barang kesayangan ataupun perihal sebuah rasa, tetapi akan selalu ada yang hilang secara perlahan tanpa adanya suatu hal yang dapat dijelaskan. Berlalu pergi dengan sebuah keikhlasan yang ihsan merupakan suatu harapan setiap orang saat melepaskan hal berharga yang belum sempat untuk diberikan kepastian. Kebijakan dan kebajikan adalah kunci untuk membuat kata “merelakan” akan terasa lebih ringan dan tiada beban. Rela untuk melepaskan merupakan nilai  tertinggi dalam sebuah perjuangan. Perjuangan yang harus segera dihentikan saat benak mulai tersadar jika tujuan dari kedua insan tidak menemukan ujung yang menyimpul dari setiap liku perjalanan.

                Terima kasih aku ucapkan untuk segala hal yang telah dirimu utarakan. Tanya yang selama ini tumbuh berkembang akhirnya menemukan sebuah keterangan yang bisa membuat kesimpulan akan sebuah jawaban. Jawaban yang sebenarnya sempat terbesit sebentar dalam relung fikiran, tapi tak pernah aku tengok penuh dengan kejelian. Kadang sebuah kejelianpun diperlukan sebelum langkah besar akan mulai dipijakkan, agar tanya bisa segera terjawab dan tidak menimbulkan besarnya keraguan.

                Tepat di malam yang dihiasi mendung semenjak hari masih terang benerang, aku berjalan menuju tempat yang sudah disepakati untuk kita nantinya bertatap muka. Pertemuan yang sudah sering kita lakukan untuk membahas hal yang berhubungan dengan pekerjaan ataupun masalah kehidupan. Di sudut sebuah meja yang sudah aku pilihkan, lantunan lagu mengalir menerjang masuk ke dalam telinga dan diri para pengunjungnya. Malam ini adalah malam dimana biasa anak muda menikmati waktu yang dibilang Panjang untuk menikmati dinginnya angin malam. Waktu yang perlahan juga akan terus berlalu untuk menunggu dirimu datang untuk menemuiku.

                Langkah kecilmu menuju ke arah tempat duduk yang sudah aku siapkan. Perlahan demi perlahan obrolan mulai saling kita lontarkan. Mengenai bagaimana keadaan dijalan sebelum menuju tempat pertemuan ataupun tentang masing-masing keadaan selama tidak ada komunikasi ataupun pertemuan. Malam semakin larut dan obrolan mulai saling mengerucut, terdengar secara lantang tentang pertanyaan dari seorang teman yang duduk semeja dengan kita.

                “Dalam beberapa tahun kedepan, apakah hal yang ingin dirimu lakukan?”

                Sontak lamunanku terpecah dan sekejap handphone yang sedang ada di tangan aku letakkan di atas meja bersama makanan dan minuman yang sudah di pesan. Dalam hati kecilku hanya bisa berharap bahwa nantinya jawaban yang dirimu utarakan bisa sesuai dengan apa yang aku inginkan.

                “Kalau aku masih ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi” Jawabmu dengan nada yang sedikit datar.

                Bagaikan sebuah sentakan yang tidak diketahui dari mana asal bunyinya, dalam moment itulah akhirnya aku harus mulai berdamai dengan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Sambil berusaha bersikap biasa saja, kulanjutkan untuk mendengarkan percakapan yang semakin berakar dalam topik pembahasan.

                “Setelah itu andaikan ada seseorang yang ingin memulai suatu hubungan dalam konteks keseriusan denganmu, tetapi pendidikanmu masih blm bisa diselesaikan bagaimana?” Sahut seorang teman yang di awal memberikan pertanyaan.

                “Aku akan pertimbangkan orang itu terlebih dahulu mengenai sikap dan kepribadiannya. Apabila orangnya memang baik akan aku coba fikirkan mengenai hubungan yang akan dilakukan untuk kedepannya. Tetapi apapun yang terjadi, pendidikanku harus selesai terlebih dahulu” jawabmu dengan penuh keantusiasan.

                Saat itulah aku tersadar kalau memang benar firasatku selama ini, jika hanya aku yang berjuang untuk menujumu. Menunggu setiap balasan pesan darimu meski berhari-hari tidak aku dapati sebuah balasan. Tetapi dirimu hanya berfokus pada hal yang diinginkan untuk kedepannya termasuk dalam bidang Pendidikan tanpa pernah sekalipun menoleh atau memandangku yang ada untuk memperjuangkanmu.

                “Jika memang seseorang ini serius terhadapku, berarti dia akan sanggup hanya untuk menungguku menyelesaikan pendidikanku di perguruan tinggi meskipun 4 tahun lamanya” sambungmu dalam sebuah pertanyaan yang masih mengambang.

                Bungsu, dimulai dengan sebuah keresahan yang timbul karena komunikasi yang kita bangun semakin jarang dan sulit dilakukan. Semakin besar keresahan yang aku alami, akhirnya aku beranikan diri untuk membahas hal yang lebih mendalam mengenai apa yang ingin kamu lakukan kedepannya. Memang jawabanmu masih bisa diterima oleh nalar yang aku miliki, tetapi perbedaan usia yang cukup jauh dan jalan yang akan kita tempuh tak saling menemukan ujung. Membuatku untuk mengambil kesimpulan bahwa akan aku hentikan langkah perlahanku menuju dirimu. Tidak ada yang salah dalam jawabanmu, tetapi setidaknya ini sudah tidak menjadi sebuah abu-abu dan mendapatkan banyak pelajaran mengenai sebuah harapan.  

                Bungsu, terima kasih yaa… Meskipun kita tidak bisa mengubah moment menjadi sebuah komitmen, meskipun apa yang ada dianganku dari awal mengenaimu tidak menemui titik terang dan meskipun sampai kapan aku tetap akan mengingatmu sebagai sebuah kisah tersendiri untuk fase yang telah aku lalui. Perbedaan usai yang begitu cukup jauhnya, mempengaruhiku untuk menyimpulkan keputusan yang terbaik untuk kita sekarang ini. Bukannya tidak mau untuk menunggu begitu lamanya, tetapi usiaku sudah saatnya memasuki periode keseriusan.

Bungsu. Tetaplah menjadi apa adanya dirimu dan raihlah semua keinginan yang kamu kejar mumpung masih muda juga. Sehat selalu disana dan tetaplah berusaha menjadi yang terbaik bagi keluarga dan orang disekitarmu. Aku hanya bisa mendo’akan dalam diamku disini, entah dirimu akan mendengar juga ataupun tidaknnya. Tetapi ikhlasku tak pernah luntur untuk melepasmu ke arah yang kamu tuju kedepan. Semoga dirimu kelak dipertemukan dengan orang yang tepat dan mengerti banyak tentang dirimu, menerima rasa ingin tahu berlebihmu, kepala batumu dan sifat kakumu yang lainnya.  

Setidaknya sekarang sudah tidak ada lagi orang yang tiba-tiba mengirimkan pesan yang tidak jelas hanya ingin menanyakan kabar tentang dirimu dan keluargamu. Tidak akan ada lagi yang panik sendiri saat tahu bahwa dirimu butuh sesuatu, tidak akan ada lagi yang bertanya-tanya tentang apa kesibukanmu sehingga tidak sempat untuk membaca pertanyaan dalam pesan-pesan pendekku. Tidak akan ada lagi yang berusaha untuk memberikan ataupun menawarkan sesuatu meski sebenarnya tidak engkau butuhkan. Tidak akan ada lagi yang berharap untuk engkau tanya meski mengenai hal-hal yang sederhana.

Sekali lagi terima kasih yaa bungsu sudah menjadikan semua ini tidak abu-abu, setidaknya setelah kisah darimu aku mendapatkan sebuah pelajaran lagi jika sebuah harapan harus dibarengi dengan sebuah usaha untuk mengenal lebih dalam di awal sebelum memupuk rasa agar bisa bersemayam. Selamat tinggal Bungsu, Sehat dan sukses selalu untuk apapun yang akan kamu lakukan di masa sekarang ataupun dimasa yang akan datang. Tanpamu aku juga harus menapakkan langkahku untuk terus melanjutkan kehidupan kedepan, dengan perlahan juga untuk membiaskan sebuah harapan tentangmu selama ini. Entah kapan waktunya, tetapi aku percaya bahwa hal indah juga akan menghampiriku di masa depan tergantung dari perbuatanku di masa yang sekarang.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS