RSS

 

TERISAK di PUNDAK

Sebagai anak desa yang tinggal sejak kecil di pesisir gunung, mungkin terdengar aneh jika mempunyai kegemaran sebagai seorang pendaki. Kegemaran yang sebenarnya lebih cocok dilakukan oleh anak kota yang jarang sekali berwisata di alam terbuka untuk melepaskan kepenatan setelah bekerja. Sejak usia remaja, tak jarang juga sebenarnya aku bersepeda ataupun berpetualanglah istilahnya dengan teman”ku. Saat hari minggu menyusuri anak gunung yang tak jauh dari tempat tinggalku. Berangkat setelah sholat shubuh bersama-sama agar saat sampai di puncaknya masih bisa melihat mentari perlahan terbangun dari tidur lelapnya. Masa remajaku dulu masih belum ada smartphone untuk mengabadikan moment seperti itu, moment yang hanya bisa diabadikan di dalam memori fikiran tanpa ada bukti secara visual. Sejak dari sekolah dasar, aku juga gemar sekali yang namanya berkemah. Membangun tempat berteduh sendiri, memasak sendiri dan mencuci baju sendiri, hitung-hitung belajar mandiri juga. Hampir sebulan sekali pasti ada saja acara berkemahnya, sampai” orang di rumah bingung sendiri kok bisa lebih nyaman di luar rumah yang lebih susah daripada dirumah sendiri yang apa-apanya sudah tersedia. Maklumlah aku juga mempunyai bekal sebagai anak pramuka yang memiliki jiwa petualang. Di pramuka inilah aku diajari bagaimana cara hidup di alam bebas yang jauh dari rumah dengan membawa perbekalan dan peralatan seadanya.

Saat memasuki usia menjelang dewasa, kebiasaanaku untuk berpetualang malah lebih condong ke daerah pesisir pantai. Karena di pantai lebih mudah dijangkau dan lebih banyak tersedia juga kebutuhan logistic apabila dibutuhkan. Seperti jika butuh makan banyak yang berjualan, jika butuh mandi tinggal ke kamar mandi umum. Berbeda dengan di gunung yang harus memasak sendiri segala sesuatunya jika lapar dan malah sampai tidak mandi berhari-hari lamanya. Namun entah kenapa saat ikut organisasi di kampus, acara pelantikan anggota baru agendanya adalah diklat menyusuri alam yang mewajibkan untuk berkemah dan mendaki gunung. Saat moment itulah kegemaranku mendaki mulai muncul kembali meski sempat terpinggirkan cukup lama juga waktunya. Karena sudah lama tidak berkegiatan berat untuk pendakian, mau tidak mau setiap pagi sebelum berangkat bekerja aku sempatkan untuk jogging santai hampir tiga puluh menit tanpa henti selama sebulan lamanya. Capek memang, tetapi jaga-jaga juga untuk kesiapan fisik saat melakukan pendakian. Tak lupa juga nutrisi harus tercukupi agar kondisi tubuh tetap prima saat melakukan aktifitas olahraga dan siap saat mendaki nantinya.

Awal November 2019, seminggu sebelum peserta melakukan prosesi diklat anggota baru, panitia membentuk team survey untuk memastikan tempat berkemah dan jalur pendakian bisa dilalui saat pelaksanaan diklat nantinya. Aku dan lima orang temanku ditunjuk sebagai team survey yang mengharuskan kami berkemah dan mendaki sebelum panitia lain dan para peserta melakukannya. Kami berenam berangkat dari Surabaya menuju ke kota Mojokerto mengendarai motor pada siang hari dan sampai disana saat sore harinya. Perjalalanan memakan waktu sekitar dua jam lamanya dengan kecepatan sedang, maklum dikarenakan dua anggota team survey kami adalah perempuan jadi tidak bisa memacu kendaraan dengan amat kencang. Hujanpun datang ditengah perjalanan kami saat menuju ke tempat pertama yang kami survey, yaitu di bumi perkemahan. Kami sampai di bumi perkemahan sekitar pukul lima sore, dikarenakan jadwal keberangkatan kami yang awalnya dari Surabaya pukul satu siang molor menjadi pukul tiga sore. Di bumi perkemahan ini kami memastikan luas kapasitas tempat yang dibutuhkan untuk prosesi diklat nantinya, sambil memberikan uang muka untuk menyewa selama beberapa hari kedepannya. Kami putuskan untuk singgah sejenak di bumi perkemahan sampai nanti setelah sholat isya’ untuk menuju tempat survey kedua.  Semua keadaan masih berjalan dengan normal di tempat survey pertama, hanya dinginnya udara disertai air hujan yang menemani kami di sore itu.

Setelah melaksanakan sholat isya’, kamipun berkemas untuk bersiap menuju ke lokasi survey kedua yaitu jalur pendakian di Gunung Pundak. iyaa gunung pundak, kesanalah awal aku mulai mendaki lagi meski bukan karena kemauan pribadi tetapi hanya tuntutan untuk proses pelantikan organisasi. Tetapi jangan salah, disinilah awal naluri mendakiku mulai bergejolak lagi sampai sekarang ini. Sesampainya di loket pendaftaran, kami mengisi biodata secara lengkap sesuai kartu tanda penduduk untuk memenuhi syarat formal pendakian di sertai lamanya waktu kami akan bermalam disana. Katanya untuk jaga-jaga juga apabila andaikan ada yang tersesat bisa di ketahui biodatanya secara cepat. Setelah pengecheckan logistic dan kondisi tubuh masing-masing team selesai, kami memulai pendakian. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul delapan malam. Secara perlahan kamipun melangkah dengan ditemani lampu senter yang masing-masing kami pegang menyusuri gelapnya jalur pendakian meskipun sebenarnya banyak pendaki lain juga yang lalu lalang.

Kami berjalan berbaris berenam dengan dua anggota perempuan yang berada di urutan ke empat dan kelima. Aku berada di urutan paling depan berjarak sekitar sepuluh meter dari rombongan untuk memastikan jalan yang kami lalui aman dan tidak ada hambatan apapun. Sembari mengobrol santai, kami sesekali bertegur sapa dan berpapasan dengan pendaki lainnya yang sedang turun ataupun yang baru mulai mendaki seperti kami. Tak terasa sudah tiga puluh menit berjalan, obrolan kami terhenti karena dua perempuan dari team kami sudah merasakan kelelahan. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertama buat mereka jadi kami putuskan untuk beristirahat. Setelah sepuluh menit kami berhenti, kami lanjutkan lagi pendakian dengan barisan yang masih sama urutannya. Tetapi belum beberapa lama kami mulai berjalan lagi, tiba-tiba salah satu perempuan di team kami terjatuh dan mulai mengigau sambil terisak tangis. Sontak aku berjalan menghampirinya disertai dengan temanku yang lain untuk memastikan keadaan. Menurut cerita teman perempuanku yang dibelakangnya, dia mengeluh sudah merasakan berat di bagian belakang lehernya sejak di awal pos pendaftaran tadi. Sampai akhirnya dia tetap memaksakan untuk melakukan pendakian dan akhirnya terjatuh.  

Malam semakin larut, aku lihat jam tangan dan sudah menunjukkan sekitar pukul sepuluh malam. Dua jam yang kami lalui dan belum sampai di pos pertama yang di prediksi bisa ditempuh dalam waktu satu jam saja. Karena ternyata teman perempuanku yang terjatuh tadi mengalami halusinasi atau biasa disebut kesurupan. Dia mulai meronta-ronta sembari ditemani isak tangis dan mengigau di tengah jalur pendakian. Banyak pendaki lain yang menghampiri dan berusaha menolong team kami agar dibawa ke pos satu agar bisa lebih leluasa lagi untuk melakukan pertolongan. Sesampainya di pos pertama, bukannya malah sembuh tetapi malah menjadi-jadi. Semakin mencekam malam di hari itu dibuatnya, teriakan-teriakan keras yang dilakukannya membuat hening malampun pecah. Hampir satu jam lebih akhirnya kami bisa menenangkan dirinya sambil dibawa masuk ke sebuah tenda milik pendaki lainnya yang bermalam di pos satu. Aku dan temanku lainnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian ini dan mendirikan tenda untuk bermalam. Tetapi sialnya, kerangka tenda yang kami bawa dari bumi perkemahan ternyata salah dan mengharuskan untuk turun mengambilnya lagi. Karena terpaksa juga agar tenda kami dapat berdiri, akhirnya aku dan salah seorang temanku turun dari pos satu menuju bumi perkemahan. Lelah rasanya karena setelah turun dari gunung menuju ke bumi perkemahan, kamipun harus naik lagi ke pos satu untuk mendirikan tenda. Entah apa yang sebelumnya kami lakukan, tetapi hari itu memang keberuntungan jauh dari team survey kami.

Sesampainya di pos satu lagi dan tenda sudah kami dirikan sekitar pukul dua belas malam. Teman perempuan yang kerasukan masih belum bisa diajak berbicara dan masih mengigau sendiri sambil menunjuk-nunjuk ke sebuah sudut yang tidak ada apapun sebenarnya. Kami berlima yang masih memiliki kesadaran penuh juga paranoid dibuatnya. Tak lama ada pendaki yang menghampiri kami dan menanyakan mengenai teman perempuan yang kerasukan itu. Ternyata dia adalah salah satu juru kunci dari gunung yang sedang kami daki ini, dia menghampiri teman perempuan yang kerasukan sambil dibacakan do’a yang dilantunkan sambil meminumkan segelas air kepadanya. Perlahan keadaan mulai kondusif dan tenang, teman perempuan yang kerasukan kami gotong untuk dibawa masuk ke tenda yang kami dirikan sendiri ditemani teman perempuan yang berada di team survey kami. Di luar tenda, kami berbincang sejenak dengan orang yang membacakan do’a tadi, ternyata jika saat melakukan pendakian tidak diperbolehkan membawa benda yang biasa disebut “jimat” karena di gunung memiliki siklus dan adatnya tersendiri. Itulah yang menyebabkan temanku kerasukan karena dia dibekali suatu hal oleh orang tuanya dari rumah sebelum melakukan pendakian.

Sesudah lewat tengah malam, keadaan sudah semakin tenang dan kami para lelaki membuat jadwal bergantian untuk berjaga saat yang lainnya sedang tidur terlelap. Dua jam sekali kami bergantian untuk tidur agar barang dan tenda kami tidak diserang oleh binatang buas yang berkeliaran di tengah malam. Saat waktu berjaga inilah aku sedikit bernostalgia dengan alam, ditemani api unggun kecil sebagai penghangat dan secangkir susu yang membuat keheningan malam semakin nikmat. Moment inilah yang tidak dapat dinikmati saat berada di rumah, kesejukan udara malam lepas sembari ditemani secerca embun yang sebentar lagi lapuk menjadi tetesan air saat mentari mulai menampakkan dirinya. Terbesit dibenakku, andaikan ini bisa terjadi di puncak gunung nanti pasti lebih nikmat lagi rasanya. Saat pelaksanaan diklat nanti, bagaimanapun caranya harus bisa sampai ke atas agar bisa tahu bagaimana rupa sebenarnya dari puncak si Pundak. Semoga saja….

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus banget, menarik sekali

ansoranalogi mengatakan...

terima kasih kakak

Posting Komentar