KAMIS MANIS
Rintik gerimis menyambutku
saat keluar dari balik sudut pintu persinggahan. Seakan ingin mengajakku
berlari kecil sembari sedikit membasahi peluh wajah dengan persona yang
dimilikinya. Hari ini adalah hari kamis. Sembari ditemani gerimis, aku
melaksanakan rutinitas yang biasa dilakukan sekali dalam sebulan. Rutinitas
yang sudah hampir aku lakukan sejak awal aku menetap di perantauan. Memang
menurut kebanyakan orang rutinitas ini adalah bukan hal yang wajar, tetapi untukku
ini adalah peristiwa yang membuatku belajar untuk bersyukur kepada Sang Maha
dengan cara yang berbeda. Rasa syukur bisa dapat dipanjatkan dengan berbagai
cara, karena setiap insan yang bernyawa memiliki sudut pandang pemikiran yang
tak sama.
Kamis
adalah hari yang cukup sakral menurutku sebagai seorang muslim. Karena sejak
usiaku masih belia, di hari kamis inilah aku diajari untuk tetap singgah di
dalam rumah. Dibiasakan untuk menguntai baris kata alunan do’a yang ditujukan
untuk saudara sesama yang telah berpulang mendahului kita menemui Sang Maha
Pencipta. Dari sore selepas adzan magrib berkumandang, sampai gema adzan isya’
menampakkan suaranya. Tak ada senggang waktupun yang tidak terdengar tanpa
alunan bait-bait do’a yang terucap dari lisan bersahut-sahutan.
Di
perantauan inilah tradisi itu masih terus aku usahakan untuk tetap terus
berjalan. Karena hal baik wajib untuk diteruskan, agar bisa memberikan manfaat
juga bagi kehidupan di masa sekarang ataupun di masa depan. Tapi yang
membedakan, kesakralan di hari kamis ini di perantauan biasa aku gunakan untuk
bersilaturahmi kepada Leluhur Kekasih Sang Maha yang telah banyak memberikan
karomahnya kepada kebanyakan masyarakat di tempat perantauanku. Sosok yang tak
mungkin bisa lekang jasa dan namanya meskipun raga sudah tak bisa duduk bersama
dalam satu perkumpulan. Tetapi rasa dan jiwa selalu terasa dekat jika bersilaturahmi
menuju tempat pesareannya.
“ Assalammualaikum Mbah” Ucapku
selalu saat akan duduk dan memulai untuk memanjatkan do’a berada di sekitar
tempat persinggahannya.
Sempat terlintas beberapa kali
dalam benakku, jika suatu saat pasti akan ku ajak Bungsu bersamaku untuk
bertamu kepada beliau. Sebelum raganya aku ajak berkunjung, akan aku diskusikan
dahulu dengan perlahan agar beliau bisa menyampaikannya kepada qalbu Si Bungsu.
Itulah keinginan sederhanaku, menjadikanmu yang pertama aku ajak kesana agar
tahu rasanya bisa sedekat itu dengan para kekasih Sang Maha yang telah banyak
memberikan jasa.
Hari kamis ini juga terasa manis,
karena keesokan harinya adalah hari dimana mayoritas laki-laki muslim
melaksanakan kewajibannya setiap sekali dalam
sepekan bersama-sama dalam satu atap. Sitilah Manis ini berasal dari
perhitungan kalender jawa yang jatuh setiap sebulan sekali ketika dipertemukan
dengan hari kamis. Seperti sepasang jodoh, meskipun terasa lama ataupun tidak
waktunya untuk bisa bertemu. Tetapi kamis akan menjadi sepasang dengan manis
jika waktunya sudah tiba apapun hal yang akan terjadi untuk menghalangi
perjumpaan keduanya.
Kamis, tetaplah manis dan jangan
sampai mengakibatkan tangis. Hadirmu akan selalu menjadi hari renungan
sekaligus ke khusyu’an setiap insan untuk memanjatkan sebuah harapan.
Kesakralan moment yang engkau ciptakan, akan selalu aku nanti-nantikan meskipun
dalam kondisi gelisah ataupun bahagia. Hanya dengan hadirnya dirimulah aku bisa
sedikit mengingat tentang banyaknya saudara yang telah pergi mendahului kita di
dunia. Jangan pernah lunturkan persona yang telah berabad-abad lamanya
disematkan kepadamu oleh kebanyakan insan. Gerimis ataupun hujan yang datang di
moment harimu, tak akan pernah menyurutkan niatan untuk memanjatkan harapan
yang sama kepada Tuhan.
2 komentar:
Ceritannya sangat menarik
terima kasih kakak
Posting Komentar