PINK
Sebuah warna yang
terbentuk dari dua percampuran antara mayoritas unsur merah dan minoritas unsur
putih. Perpaduan warna yang bagi kebanyakan orang mencerminkan sebuah sifat
kelembutan dan keanggunan. Di dasari unsur merah yang bisa menggambarkan sebuah
keberanian dan tekad yang kuat, dilengkapi dengan torehan sedikit unsur putih
sebagai sebuah penyeimbang yang mewakili sebuah ketulusan. Pink memang sebuah
warna yang tidak murni terbentuk dari satu unsur, warna ini bisa memadukan
kedua unsur yang sebenarnya tidak bisa disatukan tetapi saat dikolaborasikan
bisa membentuk unsur warna yang malah memiliki sebuah keindahan tersendiri bagi
sebagian insan.
Siapa yang akan menyangka
jika sebuah warna ini bisa juga untuk dijadikan panggilan dari sebuah nama
seseorang. Seseorang yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya bisa untuk aku
jumpai ataupun aku kenali di masa sebelumnya. Awalnya memang pernah dalam suatu
moment aku sekilas melihat foto darinya yang disodorkan oleh teman sejawatku
saat berada di tongkrongan, kesan pertama hanya tergambar sifat yang biasa aku
lihat dari kebanyakan wanita yang aku temui. “Judes”.. iya, kata itulah yang
pertama kali aku ucapkan saat awal melihat sekilah foto yang berada di dalam
media sosial temanku. Entah kenapa tiba-tiba hanya itu yang bisa aku ucapkan
secara spontan tanpa sebelumnya tahu banyak tentang gambaran sifat ataupun
kepribadiannya. Tetapi ternyata cerita tentangnya tidak hanya berhenti di
moment itu.
Beberapa bulan setelah
kejadian itu berlangsung. Aku baru sadar jika ada teman cowokku yang sedang
mencari pendamping untuk kelangsungan hidupnya di masa depan, maklum dia jomblo
sudah cukup lama sampai mungkin lupa dengan apa yang namanya cinta wkwkwkwk….
Tak butuh waktu lama akupun memiliki ide untuk mengenalkan kepadanya tentang
wanita yang aku bilang si Judes itu. Dalam benakku siapa tahu mereka berdua
juga bisa cocok dan saling melengkapi, soalnya dari apa yang dituturkan oleh
teman tongkronganku jika wanita itu juga masih single dan sedang tidak memiliki
pendamping juga. Jika difikirkan secara wajar sesama jomblo seharusnya bisalah
untuk saling mengenal, setidaknya bisa saling menghibur untuk keduanya.
Meskipun andaikan tidak ditemukan sebuah kecocokan bisa juga dijadikan seorang
teman, tetapi jika bisa satu kata dan pemikiran alhamdulillah juga pada
akhirnya hahahaha…
Perkenalan itu akhirnya
bisa direalisasikan, mereka berdua aku dan teman tongkronganku kenalkan lewat
media sosial. Setelah mereka saling mengikuti dan berkomunikasi di media sosial
tersebut, aku dan teman tongkronganku hanya bisa memantau dari kejauhan saja
sambil menjelaskan secara perlahan kepada masing-masing keduanya mengenai sifat
dan kepribadian yang dimiliki, bisa dibilang aku dan temanku itu sebagai
perantara perkenalannya atau biasa disebut “Comblang”. Ternyata setelah waktu
dan komunikasi berjalan, mereka berdua merasa ingin melakukan pertemuan
langsung agar bisa lebih mengenal antara satu dengan lainnya. Aku dan teman
tongkronganku hadir juga dalam pertemuan keduanya, karena agar tidak merasa
canggung karena ini adalah pertemuan awal. Moment ini juga adalah pertama kali
aku bisa berjumpa dengan si Judes itu.
Seperti biasanya, untuk
mencairkan suasana aku bertingkah selayaknya orang yang sudah kenal lama bukan
orang yang pertama kali untuk bertemu. Bisa disebut juga tingkah-tingkah
konyolku malah cenderung membuat orang yang sedang nongkrong denganku merasa
malu, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan agar bisa mencairkan obrolan di
pertemuan pertama. Semakin malam obrolan semakin menuju kearah yang lebih
cenderung serius mengenai identitas masing-masing orang yang baru pertama kali
bertemu. Tetapi seperti di tongkrongan biasanya, aku yang paling banyak bicara
dan bercerita sampai-sampai menghabiskan minuman lebih dari segelas yang
dipesan di awal.
“Padahal tujuannya
melakukan pertemuan ini untuk mencomblangkan dua orang yang belum pernah
bertemu dan hanya berkomunikasi lewat media sosial, tetapi malah kenapa aku
yang banyak bercerita? hufh” berkata di dalam hati dengan lirih.
Maklum memang menurutku
hal ini sering terjadi karena kecanggungan di pertemuan awal, apalagi untuk
orang yang sedang menuju ke arah yang lebih serius dalam sebuah pertemanan.
Sebagai seorang comblang, aku juga harus bisa menggali informasi
sebanyak-banyaknya dari orang yang sedang teman cowokku dekati di pertemuan
ini. Tak kadang pertanyaanku malah semakin frontal dan tidak terkendali, maklum
juga aku orangnya blak-blakkan beda dengan teman cowokku yang lebih cenderung
diam karena masih belum bisa beradaptasi dengan suasana yang terjadi.
Memang sulit juga untuk
melihat kepribadian seseorang di saat baru awal melakukan pertemuan. Tak banyak
juga dari pertanyaan-pertanyaanku yang bisa menemukan sebuah jawaban. Tetapi
satu point penting yang aku dapatkan dari si Judes yang sedang temanku dekati. Dia
adalah sosok wanita yang memiliki sebuah prinsip kuat di dalam dirinya,
terlihat dari caranya memberikan jawaban dari setiap pertanyaan dan dari sorot
matanya yang tajam saat berbicara dengna orang. Baru pertama kali aku dan teman
cowokku bertemu dengan wanita seperti dia, siapapun yang berbicara matanya
selalu tertuju tajam kepada wajah atau mata orang yang sedang berbicara. Tak
jarang juga aku mengalihkan tatapan mataku ke arah yang tidak menuju ke arah
matanya saat sedang berbicara, kadang ke arah atap, ke arah pengunjung lain
ataupun ke arah wanita-wanita pengunjung café lainnya yang sedang lalu lalang
mencari tempat duduk untuk memesan makanan.
“Haahh,,,, cantiknya
wanita-wanita pengunjung itu” “bahkan ada yang memakai pakaian yang kurang
pantas juga, hitung-hitung sebagai wahana cuci mata mumpung malam minggu juga
wkwkwk” batinku berkata dalam hati.
Memang terkesan tidak
sopan saat berbicara tetapi matanya mengarah kemana-mana, tetapi aku tidak bisa
jika saat berbicara secara terus menerus diperhatikan apalagi sorot matanya
mengarah tajam. Teman cowokku juga merasakan hal yang sama seperti yang aku
alami saat berbicara dengannya. Setelah pertemuan itu selesai dilakukan,
semuanya pulang menuju rumah masing-masing karena waktu sudah menunjukkan pukul
sepuluh malam.
Setibanya dirumah, aku
menelfon teman cowokku untuk menanyakan bagaimana kesan setelah pertemuan
pertama itu. Ternyata kesan yang senada denganku juga dirasakan oleh temanku
itu. Akupun memberikan saran jika memang dialah wanita yang menurutku tepat
untuk temanku setelah pertemuan pertama itu berlangsung. Setelah pertemuan
pertama itu, mereka berdua semakin intens dalam komunikasi dan semakin bisa
senada seirama satu sama lainnya, terdengar dari cerita teman cowokku itu dalam
setiap aku bertemu dengannya. Akupun ikut bahagia mendengarnya, karena ternyata
tidak sia-sia usahaku untuk mengenalkan mereka berdua.
Entah kenapa setelah
beberapa minggu berjalan. Ada sebuah cerita yang menggambarkan jika teman
cowokku itu merasa ada yang kurang cocok dengan wanita itu. Ada sebuah prinsip
yang tidak sejalan yang membuat komunikasi diantara mereka mulai renggang dan
tidak senada lagi. Padahal ada sebuah rencana besar yang akan dilakukan oleh
teman cowokku kepadanya saat ia akan pulang kerumah orang tuanya dari tempat
perantauannya. Sontak akupun sebagai seorang teman juga terkaget mendengarnya
padahal menurutku masih baik-baik saja tapi malah mendengar cerita seperti itu
setelah mereka berdua bertemu dalam pertemuan kedua.
Beberapa minggu setelah
hal itu terjadi, temanku akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendekatan
kepada wanita itu lagi. Dia berpamitan melalui pesan singkat yang dikirimkan
dengan penuh untaian kata maaf dan terima kasih tentang sebuah kisah yang
pernah menemaninya membuka secerca asa meski hanya sebentar waktunya. Dalam
bimbangku apa yang seharusnya aku perbuat setelah ini, apakah akan memang
selesai begitu saja. Sebagai seorang teman, akupun berusaha untuk meluruskan
kesalahfahaman yang sudah terjadi, setidaknya apabila mereka tidak bisa menjadi
komitmen tapi bisalah untuk menjadi teman jalan-jalan bareng.
Lewat akun media sosial
milik wanita itu, aku kirimkan pesan singkat agar bisa bertemu. Awalnya hanya
untuk meminta tolong diantarkan membelikan kado untuk teman nongkrongku yang
sedang berulang tahun. Akhirnya ia bersedia mengantarkanku kesebuah tempat
pembelanjaan. Setelah berputar-putar untuk membeli kado itu, aku mengajaknya
untuk ngobrol di sebuah tempat penjual kopi yang tak jauh dari tempat di mana
membeli kado.
Setibanya di tempat itu,
aku mulai menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tentang kesalahfahaman antara
mereka berdua. Akupun hanya bisa berharap setelah aku menjelaskan secara
detail, mereka bisa kembali seperti awal meski sebenarnya berat karena temanku
sudah terlanjur memutuskan berhenti dan berbalik arah. Jikapun tidak seperti di
awal, mereka bisa menjadi teman dan tidak ada lagi sebuah kecanggungan.
Gayungpun bersambut,
beberapa hari setelah aku mencoba meluruskan apa yang telah terjadi. Akhirnya
mereka berdua bisa berkomunikasi lagi meski tidak seintens di awal saat proses
pendekatan. Tetapi cerita tidak hanya sampai disana. Setelah mereka berdua
memulai komunikasi lagi, ternyata wanita itu sekarang yang berusaha
mengungkapkan rasa kepada teman cowokku. Padahal sudah sejak awal saat setelah
selesai membeli kado itu aku jelaskan bahwa hal itu sudah tidak mungkin terjadi
lagi karena semua sudah terlanjur terjadi. Sebut saja wanita itu pink, iyaa dia
adalah pink. Seorang wanita yang awalnya takut akan mengakui sebuah rasa,
tetapi akhirnya ia belajar menjadi orang yang jujur terhadap rasa yang
sebenarnya ada di dalam hatinya. Sebuah kemajuan yang cukup besar juga, karena
tidak semua orang bisa jujur terhadap rasa yang ada di dalam dirinya meskipun hasil
yang diinginkan tidak sesuai dengan harapannya.
Sejak peristiwa itu, aku
tak jarang pula berkomunikasi dengan si Pink. Membahas masalah-masalah yang
biasa dibahas oleh orang yang hampir seumuran. Maklum kami hanya berjarak dua
tahun jadi tidak terlalu jauh mengenai pola pemikiran. Tetapi meski begitu dia
adalah senior dalam masalah Pendidikan, dia lebih awal menggapai gelar
sarjananya daripada diriku orang yang lebih tua darinya. Tak jarang aku meminta
bantuan mengenai tugas-tugas yang sedang aku dapatkan dari perkuliahan, terima
kasih yaa pink sudah banyak membantuku wkwkwk. Tak jarang pula dia meminta
saranku mengenai permasalahan yang sedang ia hadapi dalam kehidupan, kadang
tangisnya ada sebagai bumbu dari sebuah cerita yang diungkapkan. Aku hanya bisa
memberikan saran semampu dan setahu diriku saja, tidak kurang dan
dilebih-lebihkan sedikitpun dari kapasitasku sebagai seorang manusia. Tak
jarang pula aku merasakan keanehan setiap peluh jatuh dari kedua bola matanya,
tak seharusnya dia terisak seperti itu karena aku tahu dia adalah pribadi yang
kuat dan tidak manja. Tetapi wajar juga menurutku karena dia adalah seorang
wanita yang menangis saat tidak bisa mengungkapkan suatu hal dengan kata-kata.
Tak jarang pula kami
bercerita atau sekedar sharing dalam masalah kehidupan. Masalah percintaan,
keluarga ataupun masalah-masalah lainnya yang orang lain juga pernah
mengalaminya. Untuk masalah percintaan mungkin aku yang paling dominan
bercerita, karena aku memang sangat tidak faham mengenai satu hal ini. Entah
mengapa untuk hal yang satu itu aku lebih banyak meminta saran kepada banyak
orang, padahal saat orang lain bercerita aku sebenarnya bisa memberikan saran.
Apakah ini yang dimaksud bahwa manusia ditakdirkan menjadi makhluk sosial?
Karena saat menghadapi masalah dia harus meminta bantuan dari orang sekitarnya,
meski sebenarnya masalah itu juga sering dimintai saran kepada dirinya sendiri.
Tetapi entahlah, aku juga bingung menyimpulaknnya.
Waktu demi waktupun
berjalan dengan normal dan tidak ada masalah apapun dalam pertemanan ini. Kami
berempat bahkan beberapa moment bisa nongkrong bersama dan bercerita kesana
kemari dengan penuh canda tawa. Saling berbagi cerita dan pengalaman hidup yang
pernah dialami oleh masing-masing dari kami.
Tepat di hari tahun baru
di tahun ini. Ibuku berulang tahun yang ke 52. Aku merayakannya dengan
sederhana hanya dengan ucapan dan sebuah kue yang aku persembahkan untuk beliau
disetiap tahunnya. Sebelum meniupkan lilin seperti biasa kami menguntai do’a
agar bisa dikabulkan keinginan di tahun ini. Dimulai dengan mencium tangannyaa
akupun ingin mendengar apa yang beliau inginkan dariku di tahun ini.
“Sudah cukup lama ibu
tidak mendengar ceritamu mengenai seseorang perempuan? Biasanya selalu
menceritakannya kepada ibu” dengan nada lirih ibu mengatakan hal itu sambil
menatap kearah wajahku.
“Sebenarnya belum ada
yang sangat dekat denganku bu, Cuma ada satu orang yang ingin aku ceritakan
tetapi aku ragu untuk hal itu” jawabku dengan nada bicara yang datar.
Tak pernah ku sangka di
tahun ini hal itu bisa terlontar dari perkataan beliau, karena sebenarnya belum
pernah sekalipun beliau meminta dikenalkan atau minta diceritakan mengenai
siapa sosok yang sedang denganku. Maklumlaah, aku adalah si single yang jarang
bisa suka dengan wanita, butuh waktu cukup lama hanya untuk bisa benar-benar
suka kepada seseorang.
“Tidak apa-apa ceritakan
saja, ibu ingin mendengarkan sebuah cerita di hari ulang tahunmu ini” sahut
ibuku sambil mendekat ke arahku.
Perlahan aku buka media
sosial di handphoneku dan aku cari sebuah foto seseorang yang aku ingin
ceritakan kepada beliau. Setelah aku tunjukkan fotonya, perlahan aku ceritakan
tentang kepribadian dan keadaan darinya yang aku ketahui. Setelah aku rasa
cukup untuk bercerita. Aku mencoba keluar dari beranda media sosialku,
tiba-tiba muncul sebuah foto di bagian explore media sosial yang detik itu juga
ibuku langsung menanyakannya kepadaku.
“Sebentar, jika yang itu
fotonya siapa? Tanya ibuku dengan lirihnya.
Akupun mengklik foto yang
muncul itu dan masuk ke akun media sosial miliknya.
“Ini adalah temanku,
namanya adalah Pink. Dia adalah sahabat dari teman kuliahku yang tempo hari aku
ceritakan kepadamu itu bu” jawabku sambil perlahan berbaring di atas Kasur.
Tetapi entah kenapa,
setelah aku tunjukkan fotonya ibuku malah semakin banyak bertanya lagi
tentangnya. Tentang berapa usianya, dimana rumahnya dan bagaimana keadaan
keluarganya. Akupun tidak ada firasat apa-apa mengenai pertanyaan itu, karena
itu adalah pertanyaan standart yang biasa beliau lontarkan kepada setiap teman
yang aku kenalkan. Aku jawab pertanyaan itu dengan perlahan agar ibu mengerti
tentang siapakah sebenarnya temanku ini.
Tak selang beberapa lama
setelah obrolanku ini, handphone yang sedang aku pegang berbunyi. Ternyata itu
adalah panggilan dari kakakku yang sedang berada di perantauan juga. Lewat
panggilan video kakak menghubungiku tepat di hari ulang tahun ibu.
“Selamat ulang tahun bu,
Panjang umur dan sehat selalu” ucap kakakku beserta istrinya yang sedang berada
dalam panggilan.
“Iya amiin, terima kasih
nak” sahut ibuku dengan senyum yang menyimpul dari wajahnya.
Seperti biasa obrolah
diantara kami berlangsung seperti biasanya, tentang kabar dan bagaimana keadaan
di masing-masing tempat selama pandemi ini berlangsung. Tak terasa di tengah
perbincangan itu, timbul sebuah pertanyaan dari kakakku.
“Adik sekarang dengan
siapa bu? Masak belum ada seseorang yang diceritakan ke ibu?” tanya kakakku
dengan nada yang diselingi bercandaan.
“Barusan ibu diberikan
cerita mengenai dua orang yang sedang berteman dengan adikmu” jawab ibu sambil
tertawa pelan.
Akupun sedikit
kebingungan dengan jawaban dari ibu, padahal sebenarnya aku hanya mengenalkan
seseorang kenapa sekarang jadi dua orang. Ternyata si Pink juga menjadi topik
pembicaraan di moment ini.
“Lho memangnya anak mana
saja bu? Tanya kakakku dengan nada penasaran.
Ibupun bercerita mengenai
kedua sosok itu sesuai dengan apa yang aku telah ceritakan di awal. Sembari aku
membantunya jika ada informasi yang kurang tepat dalam penyampaiannya.
“Owgh begitu, terus adik
akhirnya bagaimana? Apakah sudah mengambil keputusan bu? Tanya kakakku lagi
dengan didampingi istri disampingnya.
Sembari mengajukan
pertanyaan, sesekali kakakku memberikan nasehat-nasehat yang biasa dia berikan
kepadaku. Maklumlah dia adalah sosok pengganti bapak didalam keluargaku, bukan
hanya nada suaranya tetapi wajah dan gaya bicaranya juga identik dengan apa
yang aku ingat dari almarhum bapakku dulu.
Setelah hampir satu jam lebih
obrolan ini berlangsung. Ibu, kakakku dan istrinya mengadakan voting dan
hasilnya senada. Diakhir percakapan ibu hanya berpesan kepadaku.
“Nak, pilihlah dia yang
bisa menghargai dirimu, tidak perlu menjadikanmu sebagai orang lain agar dia
menyukaimu, tetapi dengan ke apa adaaanya dirimu dia bisa tertawa dan menangis
dihadapanmu. Hal ini akan terasa saat dirimu berbicara secara langsung berdua dengan
salah satu diantara keduanya.” ucap ibu sambil mengelus pundakku dengan
perlahan.
Setelah menyampaikan hal
itu, kamipun mengakhiri obrolan di malam itu. Sontak setelah moment itu akupun
terfikirkan akan nasehat ibu dan kakakku itu. Hampir semalaman aku masih terus
menerus memikirkan tentang nasehat itu. Sempat pula aku merasakan insomnia yang
mengakibatkan malamku sedikit beda dari biasanya, padahal keesokan harinya aku
masih harus masuk kerja.
Pada malam itu juga,
akhirnya aku mendapatkan sebuah jawaban dari maksud nasehat yang diberikan.
Mengenai rasa yang harusnya aku condongkan kepada siapa.
“Iya, harusnya kepada si
dia aku memperjuangkannya bukan kepada yang satunya” kataku di dalam hati
sambil melihat kelangit langit kamar.
Setelah seminggu aku
mendapatkan keputusan mengenai hal itu, sembari aku mulai mengumpulkan perlahan
keberanian untuk bisa mengungkapkan apa yang harusnya aku katakan. Di pagi hari
aku membuat janji dengannya untuk bertemu di sebuah tempat penjual kopi yang
sebelumnya aku juga pernah berjumpa, dia mengiyakannya untuk bertemu di malam
hari setelah pulang kerja.
Di hari itu aku datang
lebih awal sambil beradaptasi dengan kondisi yang ada, aku pesan sebuah kopi
yang menjadi favoritku selama ini sambil kupesankan juga minuman yang biasa dia
pesan. Sambil menunggu dia datang, aku menyempatkan untuk bermain game terlebih
dahulu untuk mengusir rasa nervousku juga untuk menunggu kedatangannya. Tak
beberapa lama berselang, akhirnya dia datang dan langsung menuju meja yang
sudah aku tempati di awal. Obrolan dimulai dengan biasanya sembari ditemani
asap aroma penjual sate yang sedang menjual dagangannya, kami saling bercerita
tentang apa yang di alami selama liburan tahun baru ini. Tertawa seperti
biasanya dan bergurau seperti normalnya pertemuan biasanya juga. Tak beberapa
lama aku sempatkan berpamitan untuk ke kamar kecil sembari berusaha mengusir
rasa canggung yang aku rasa.
Setelah dari kamar kecil,
aku kembali menuju meja yang sedang ditempatinya. Setelah aku rasa di moment
yang tepat, aku awali dengan mengirimkan sebuah pesan yang berisikan dengan
biodata singkat mengenai penggambaran diriku. Sempat terlontar komentar yang
agak menohok setelah dibukanya pesanku.
“Kok dengan begini ini
lagi? Apakah ini yang akan kamu kirimkan kepadanya? Tanya dia spontan kepadaku.
Mungkin dia mengira
biodata itu akan aku kirimkan kepada orang yang sering aku ceritakan juga
kepadanya.
“Bacalah saja dulu sampai
selesai, baru nanti akan aku jelaskan” jawabku dengan nada datar.
Setelah beberapa menit
dia membaca biodata itu, akupun mengeluarkan sebuah benda dari dalam tas yang
aku bawa. Iya, itu adalah sebuah gelang. Gelang yang sudah lama aku simpan.
“Apakah Cuma begini ini?
Kuranglaah menurutku” komentarnya dengan nada agak sinis.
“Aku mengirim hal itu
bukan untuk dia, tetapi untukmu” ucapku sambil memandang ke arahnya.
Tak banyak kata yang bisa
dia ucapkan setelah aku bilang begitu kepadanya. Sambil perlahan aku minta
untuk meletakkan tangan di atas meja, aku pasangkan juga gelang yang tadi sudah
aku bawa. Perlahan aku mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sehingga
aku mengambil keputusan akan hal ini.
“Kenapa aku? Apa yang
membuatmu bisa yakin kepadaku? Tanyanya kepadaku dengan ekspresi wajah
kebingungan.
“Pink, maaf sebelumnya
mungkin ini sangat mengagetkan untukmu. Tetapi memang keputusan inilah yang aku
ambil dan menurutku terbaik untuk saat ini.” Jawabku dengan perlahan
Dengan ekspresi wajah
yang masih kebingungan dan serasa tidak percaya karena tidak pernah
terbayangkan dibenaknya jika akan terjadi moment seperti ini.
“Aku hanya ingin jujur
dengan apa yang selama ini aku rasakan. Denganmu aku tidak perlu menjadi orang
lain untuk dihargai. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat berbicara denganmu
dengan keapa adaanya diriku ini. Maaf juga jika ini mengagetkanmu, membuatmu
punya beban fikiran dan malah mungkin membuatmu merasa kebingungan. Aku ingin
membangun rasa ini denganmu karena apa yang dibangun akan bertahan lebih lama
daripada dengan apa yang tumbuh, karena yang tumbuh akan mengalami fase
kematian pada akhirnya. Aku memang sadar ini adalah situasi yang sulit, karena
sebelumnya kamu pernah mengalami sebuah proses dengan temanku sendiri tetapi
setelah ini aku akan berusaha menjelaskan kepadanya” jawabku dengan pelan
dengan sesekali menyimpulkan senyuman.
Mungkin saat aku sedang
menulis cerita ini, kamu masih dengan rasa bingungmu atas apa yang aku
sampaikan. Tetapi dari dalam diriku yang terdalam aku meminta maaf kepadamu yaa
Pink, karena menambah beban fikiranmu yang ada karena ulahku. Karena aku hanya
ingin setelah hal ini nanti menemukan jawabnya, aku ingin melihat sorot matamu
memancarkan kejujuran yang sebenarnya. Aku hanya melihat jika tawamu selama ini
hanya ingin menutupi segala kesedihan dan kegundahan yang dirimu alami. Pintaku
padamu hanya tersenyumlah jika memang dirimu benar-benar merasa bahagia, dan
menangislah jika memang dirimu sedang merasakan duka. Dirimu tak perlu
sepertiku yaa pink, yang selalu menyimpulkan senyuman dan merasa paling bahagia
apapun yang sedang aku rasakan. Aku memang sudah terbiasa dengan keadaanku ini
sejak dahulu, tetapi untukmu aku minta jangan seperti aku yaa.
Aku percaya jika dirimu
adalah sosok yang sangat kuat dalam menghadapi segala masalah yang ada. Jika
butuh bantuan pendapat, jangan sungkan juga untuk bercerita kepada orang-orang
yang berada disekelilingmu. Lebih sensitiflah kepada keadaan sekitarmu, bahwa
masih banyak orang yang peduli dan berempati terhadapmu. Dirimu tidak sendirian
pink, masih ada kedua orang tua yang bisa juga dirimu mintai nasehat jika orang
disekitarmu tidak bisa memberikan jawaban atas segala problematika hidupmu. Dirimu
bisa menasehati teman-temanmu saat mereka butuh pendapat, jadi sadarilah jika
dirimu sebenarnya adalah sosok yang kuat.
Pink, apapun yang dirimu
katakan nanti. Aku akan menjadi orang yang sama saat biasa kita bercerita, aku
tidak akan berubah sejengkal atau selangkahpun dari biasanya. Jadi jangan
jadikan beban fikiran yaa pink atas perkataanku kemarin itu. Jawablah sesuai
dengan apa yang memang benar-benar kamu rasakan. Maaf dan terima kasih yaa pink
atas semuanya…