KARIKATUR
SENJA
Tok.. tok .. tok.. “Assalammualaikum”,
ucapku pelan dengan nafas yang masih terengah-engah sembari perlahan mengusap
keringat di wajah.
“Wa’alaikumsalam”, terdengar bunyi
sahutan dari dalam ruangan secara samar.
Pintupun aku
buka secara perlahan, agar tidak mengganggu aktifitas yang sedang berjalan di dalam ruangan. Ku langkahkan kaki dengan
kecepatan sedang menuju bangku yang berada di sudut kanan depan.
“Dari mana saja kamu? Dosen sudah
memulai mata kuliahnya sejak tiga puluh menit yang lalu” ucap Ayu seorang teman
yang duduk disebelah kanan bangku tempat dudukku.
“Maaf aku sedikit terlambat, karena
masih macet tadi dijalan” sahutku sambil sedikit berbisik kepadanya agar dosen
tidak menyadari percakapan yang aku lakukan.
Masih teringat dengan jelas dalam
benakku, bahwa hari itu adalah tahun ke dua diriku menginjak semester awal
sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di kota. Seperti
kebanyakan mahasiswa yang pagi sampai sore harinya dihabiskan untuk bekerja,
aku cukup sering terlambat saat mengikuti mata perkuliahan di malam harinya. Selain
karena banyaknya persoalan yang harus diselesaikan di tempat kerja, kepadatan
kendaraan yang lalu lalang saat perjalanan menuju kampus adalah faktor
pendukung bagi keterlambatanku. Padahal sudah hampir 5 tahun aku berada di kota
ini sebagai pekerja, tetapi tetap saja kemacetan adalah masalah utamanya.
Setelah hari itu dosen mengakhiri mata
kuliah yang diajarkan, kebiasaaanku dengan teman” satu tongkrongan adalah
bercerita tentang hal yang terjadi selama seharian di tempat kerja. Teman satu
tongkronganku dalam satu program studi berjumlah 9 orang dan hanya akulah cowok
satu-satunya dalam pertemanan ini. Jadi wajarlah kalau aku adalah orang yang
paling tampan, meskipun kenyataannya rupaku juga terhitung pas-pasan hahaha…
Dalam sebuah pertemanan pasti ada
pasang dan surutnya juga, apalagi pertemanan dengan para perempuan. Sedikit
tidak dihiraukan dalam percakapan sudah bisa merajuk dan menjauh dari
pergaulan, memang itu sebuah hal yang wajar juga menurutku karena sifat dasar
perempuan adalah ingin selalu diperhatikan. Tak jarang pula dalam lingkup pertemanan,
aku hadir sebagai penengah dalam berbagai persoalan meski sebenarnya kami semua
tidak jauh berbeda untuk masalah usia dan kedewasaan. Tetapi meskipun sebaya, kedewasaan
seseorang tidak bisa ditentukan oleh jumlah usianya melainkan dari lingkungan
dan pengalaman yang dialami selama perjalanan hidupnya.
Setiap selesai Ujian Akhir Semester
(UAS), tibalah saatnya untuk para mahasiswa mengisi Kartu Rencana Studi (KRS)
yang digunakan sebagai syarat utama untuk menempuh mata kuliah di semester
selanjutnya. Pada hari itu dosen pembimbingku dari semester pertama sampai
tahap skripsi akhir nanti, sedang tidak ada jadwal untuk mengajar di kampus.
Akhirnya aku dan teman-teman yang satu dosen perwalian memutuskan menuju
kerumah dosen yang bersangkutan, padahal hanya untuk meminta sebuah tanda
tangan persetujuan. Memang butuh sedikit perjuangan sebagai mahasiswa dan ini
juga belum apa-apa menurut kebanyakan orang, karena dosen akan semakin sulit
ditemui pada saat pengerjaan skripsi nanti.
Dalam perjalanan inilah, aku dan
temanku Si Ayu memulai percakapan sederhana yang berbuah suatu keputusan. Dia
berusaha meyakinkan diriku agar memulai kembali perjuangan dalam urusan
perasaan yang sebenarnya sudah lama juga aku nomor duakan. Ayu adalah teman
yang bisa dibilang sebagai pembuka jalan pertemuan dengan sosok gadis kota yang
biasa aku gambarkan sebagai sebuah peristiwa Senja. Iyaa… Senja, memang tidak
asing terdengar bagi kebanyakan orang. Terbayang akan sebuah keindahan apabila
mendengar istilah itu di dalam telinga dan fikiran. Memang peristiwa Senja ini
hadir setiap akan datangnya petang, tetapi buatku Senja adalah momen keindahan
yang harus selalu diabadikan.
Senja ini adalah teman dekat Si Ayu
semenjak masih duduk dibangku sekolah menengah, dia adalah gadis kota pertama
yang aku perjuangkan secara perlahan dalam setiap tahapan. Awal Ayu mengenalkan
sosok Senja kepadaku melalui media sosial miliknya, entah mengapa juga hanya
lewat sebuah rangkaian foto dan tanpa bertatap muka langsung dengan Si Senja.
Aku sudah merasakan sesuatu hal yang berbeda dari kebanyakan gadis kota yang
aku temui lainnya, apakah karena memang dia jelita ataukah karena innerbeauty
yang dimilikinya? Akupun bingung untuk menyimpulkannya, tetapi yang jelas aku
putuskan untuk berjuang agar bisa mengenal Si Senja lebih mendalam.
Ternyata Ayu juga bercerita bahwa
Senja adalah kakak tingkatku di kampus, dia setahun lebih awal masuk ke kampus
tempat aku menempuh Pendidikan. Fakta itulah yang meyakinkan diriku untuk bisa
jauh lebih dekat lagi dengannya, meskipun Ayu juga bercerita bahwa Senja sedang
cuti kuliah karena sakit yang dia derita. Walaupun begitu keadaannya, aku
putuskan untuk menunggu Senja sampai dia bisa melanjutkan studinya dalam satu
atap perguruan tinggi yang sama denganku,
meski kami berada dalam tingkatan semester yang berbeda.
Pada fase menunggu itulah awal aku
mencoba untuk melakukan pendekatan lewat akun media sosial miliknya yang ku
dapatkan dari Si Ayu, atas persetujuan dari Senja juga pastinya aku meminta
kontak akun media sosial itu. Memang komunikasi cukup kaku juga untuk di awal,
apalagi hanya saling berkirim pesan singkat tanpa ada pembicaraan secara visual
ataupun verbal. Tetapi setelah berjalan beberapa hari, komunikasi yang kami jalani
sudah mulai menemukan alurnya dan tidak sekaku seperti di awal. Di sela-sela
obrolan berjalan, aku selipkan pertanyaan yang menyangkut keadaan kesehatannya
sembari bertanya juga tentang history keluarga darinya. Senja terlahir empat
bersaudara dan dia adalah anak nomor dua, terlahir dari keluarga sederhana yang
memiliki kultur agama kuat dan hampir sama dengan keadaan di dalam keluargaku.
Tak terasa selama enam bulan aku
menunggu dirinya sembuh dari sakit yang diderita, berita baikpun ku dengar dari
Si Ayu bahwa Senja akan memulai studinya lagi di semester ini. Sontak aku
merasa bahagia mendengarkan hal itu, dalam diam dan ikhtiarku selama fase
manunggu akhirnya sebentar lagi bisa berjumpa dengannya. Tak sabar juga rasanya
ingin segera mendengar bagaimana jawaban dari lembaran biodata diri yang
sebelumnya aku titipkan kepada Ayu untuk disampaikan kepadanya. Hampir setiap
malam selama enam bulan berjalan dalam istikharahku, selalu aku selipkan
namanya di dalam setiap do’a untuk kesehatan dan kebaikannya juga. Meskipun tak
akan pernah ia sadari juga secara langsung, tetapi aku percaya bahwa suatu saat
nanti dia pasti tersadar bahwa ada aku yang selalu mendo’akan dirinya dalam
kebaikan.
Beberapa hari setelah Senja memulai
studinya lagi di kampus, Ayu bercerita bahwa dirinya sempat bertemu dengan Si
Senja tetapi hanya sebentar dan tidak cukup lama pula. Setelah Ayu mengakhiri
ceritanya, akupun meminta tolong Ayu untuk mengirimkan pesan singkat yang
bertujuan untuk mengatur pertemuan diriku dengan Si Senja keesekoan hari.
Senjapun menyetujuinya tetapi hanya bisa bertemu saat berada dilingkungan
kampus setelah jam perkuliahan saja. Bagiku tidak masalah, asalkan aku bisa
segera bertatap muka dan mengobrol secara langsung dengan dirinya.
Keesokan malamnya aku berangkat ke kampus
dengan semangat yang berlebih karena ingin segera bertemu dengannya. Berbalut
pakaian terbaik yang aku miliki, aku berharap bisa memberikan kesan pertama
yang baik kepadanya. Karena ini adalah momen yang sudah lama aku tunggu meski konsepnya
hanya pertemuan biasa. Setelah selesai mata kuliah yang kami ikuti di kampus, Ayu
dan aku menghampiri Senja di depan ruang kelas miliknya. Bukan karena tidak
berani untuk menemui Si Senja sendirian, tetapi aku hanya tidak ingin berduaan
dengan perempuan yang sedang aku perjuangkan dalam kebaikan. Kamipun bertiga
berjalan perlahan menyusuri lorong kampus dan akhirnya duduk di bangku panjang
yang terletak di sudut aula kampus.
“Bagaimana Senja kabarnya? Lama tak
jumpa juga kita” kalimat pertama yang Ayu ucapkan untuk memulai obrolan.
“Baik Ayu, alhamdulillah” jawab Senja
sambil sesekali memandang ke arahku.
“Ada apa ini Ayu? Kok tiba-tiba
mengajak untuk bertemu?” Tanya Senja dengan ekspresi yang masih sedikit
kebingungan.
“Apakah aku akan di introgasi mengenai
lembaran biodata yang kemarin aku terima?” sahut senja sebelum aku dan Ayu memberikan
jawaban dari pertanyaannya di awal.
“Iya Senja, aku disini mengantarkan
temanku untuk menanyakan mengenai hal itu” sambung Ayu berusaha untuk
menjelaskan.
“Iya, aku kesini untuk menanyakan
mengenai hal itu” sahutku disela-sela pembicaraan mereka.
“Aku sudah membacanya dan sudah aku
pelajari juga dengan seksama, tetapi apa maksut dari semuanya yaa?” tanya senja
sambil memandang ke arahku.
Dengan keringat dingin yang bercucuran
karena gugup di pertemuan awal, aku berusaha menjawab pertanyaan yang Senja tujukan
kepadaku.
“Begini Senja, sebenarnya aku kesini
selain untuk menanyakan mengenai keputusanmu setelah membaca isi dari
biodataku. Aku juga ingin menyampaikan sesuatu hal” jawabku sambil berusaha
untuk mencairkan suasana yang ada.
“iya, apa memangnya?” jawab senja
dengan sesekali memainkan ujung jahitan baju yang sedang dipakainya.
“Bismillahirrohmannirokhim”, ucapku
dalam hati pelan
“Aku datang dengan kemantapan hati dan niat
tulus karena Allah ingin melamarmu untuk menyempurnakan separuh agama yang aku
miliki” ucapku kepadanya sambil menahan degup jantung yang semakin kencang
tidak karuan iramanya.
“Apa? Yang benar saja” jawab Senja
sambil memandangiku dengan ekspresi muka yang diselimuti rasa terkejut.
Terlihat di sudut sisi kursi, Ayu juga
hanya bisa terdiam dan memandangiku dengan sorot mata yang tajam, seakan tidak
membayangkan bahwa aku akan mengatakan hal ini kepada Senja di pertemuan
pertama. Setelah beberapa saat kami bertiga terdiam, Senjapun akhirnya
memberikan sebuah jawaban.
“Maaf yaa mas sebelumnya, tetapi aku
masih belum siap untuk sekarang. Aku harap kita bisa berteman dahulu” jawab
senja dengan suara yang sedikit pelan.
“Tidak tahu juga untuk kedepannya
bagaimana, yang jelas jodoh tidak ada yang tahu”. Sambung senja untuk
menjelaskan jawaban yang dia berikan.
“Baiklah Senja terima kasih atas
jawabannya, setidaknya aku sudah lega untuk menyampaikan semua rasa ini
kepadamu secara langsung” jawabku sambil menatap kearah kedua bola matanya.
Aku dan Ayu pergi meninggalkan Senja
yang masih terduduk dibangku panjang di sisi sudut aula itu. Setelah beberapa
langkah, aku mencoba menoleh ke arah bangku panjang itu lagi. Tetapi Senja juga
sudah terlihat berlalu pergi ke arah berlawanan dengan arahku dan Ayu berjalan.
Memang sebenarnya dari awal berangkat
ke kampus di malam itu aku tidak berharap banyak kepadanya, karena aku sadar
bahwa diriku hanyalah sosok sederhana yang masih banyak kekurangan menurut
kebanyakan orang. Tujuan sebenarnya mengatakan hal itu di awal pertemuanku
dengan dirinya hanya untuk berusaha jujur terhadap perasaan yang aku miliki
selama ini. Dengan cara inilah, aku berusaha selalu menjaga rasa yang kumiliki kepadanya
di dalam kebaikan dan kefitrahan juga untuknya sebagai seorang perempuan. Kita
berdua memang diciptakan bagaikan sesosok Fajar dan Senja dalam realita keadaan.
Tercipta dari peristiwa langit yang sama tetapi tidak pernah bisa bersatu
karena berbeda asal muasal.
Aku tercipta seperti fajar yang muncul
dari ufuk timur di pagi hari untuk menyinari gelap malam yang berubah perlahan
menjadi terang, sedangkan dirinya tercipta seperti senja yang terbenam di ujung
barat untuk menandakan akan habisnya terang dan akan digantikan dengan
keindahan di gelap malam. Selamat tinggal Senja, terima kasih telah sempat
datang dalam kehidupanku meski tak pernah menetap dan bersandar sejenak di
dalam kisah kasihku.